Senin, 18 Oktober 2010

Tidak Ada yang Perlu Dicemaskan

Jumat, 1 Oktober 2010

Apa perasaan yang seharusnya saya rasakan? Saya tak berhenti-berhentinya bertanya pada diri sendiri. Semua teman, lewat message, SMS, telepon bertanya hal yang sama “Deg-deg-an ya Git?” Saya bingung menjawabnya. Apakah saya deg-degan? Rasanya tidak. Siang ini saya justru masih jalan ke gedung untuk mengambil kwitansi pembayaran. Mas Ilham—sang marketing Pesona Khayangan—sampai kaget saat tahu sayalah yang datang ke sana. Ih biasa aja kali, Mas :P

Ya, saya bingung mendekripsikan perasaan saya hari ini. Saya tahu, besok adalah sebuah awal besar yang akan mengubah hidup saya. Tetapi, membayangkan akan melaluinya bersama Wira, membuat saya tak merasa grogi atau ragu sedikit pun. Saya sudah mengenal Wira, lama sekali. Hampir tujuh tahun.
Kami berteman—bersahabat tepatnya. Saya dan iwied, selalu mengandalkan Wira sebagai teman laki-laki terdekat jika kami membutuhkan bantuan—apa pun itu. Kami juga sudah sering mendaki gunung bersama, bermalam dalam satu tenda, berbagi makanan seadanya. Bahkan, di gunung terakhir, Wiliis—Jawa Timur—kami sempat tersesat, dan berbagi khawatir bersama.

Ya, saya mengenalnya. Saya tahu, saya mengenal laki-laki yang akan berjalan bersama saya ini. Dan, dengan segenap hati, saya percaya padanya. Menyerahkan peta dan arah, serta  melabuhkan semua tujuan, bersamanya.

Justru, malam ini, saya mencemaskan orang lain, bersedih untuk sesuatu yang mungkin akan berubah di antara kami. Saya cemas untuk sahabat terbaik saya, iwied. Saya tahu, mau tidak mau, besok semua tidak lagi sama. Kami, yang tadinya tak terpisahkan—benar-benar tidak terpisahkan, akan mulai belajar menata hidup sendiri-sendiri. Betapa sedihnya. Saya membayangkan tak bisa lagi bertengkar pagi-pagi karena iwied yang sulit bangun, atau di tengah kantuk, dengan jengkelnya saya harus menjadi stylish iwied yang selalu ragu-ragu dengan pilihannya.
Sepuluh tahun, hari-hari mengikat kami lebih dari ikatan saudara kembar sekali pun. Kami berbagi segalanya. Tawa yang tak habis-habisnya. Juga tangis yang meledak kapan saja. Kami mematahkan anggapan orang yang bilang, persahabatan kami sangat rentan, toh waktu menjawab semuanya.

Malam itu, saya mencemaskan sahabat saya. Saya takut, setelah besok, dia akan menjauh. Menjauh dari saya dan mungkin mencari sahabat baru. Saya takut, obrolan saya tak lagi bisa menyamai obrolannya atau dia lelah karena saya terlalu larut dalam dunia baru.

Malam itu, saya tak berani membuka obrolan. Sahabat saya itu, dengan ceria, menyiapkan baju terbaik untuk hari besok—hari besar saya. Sungguh, saya tahu dia berbahagia untuk saya. Setelah saya, dialah orang paling bahagia hari itu.

Ah, melihatnya berbahagia seperti itu, ssegala kecemasan yang saya rasakan menguap dan menghilang. Saya tahu, saya tidak akan pernah kehilangan dia. Dia sahabat terbaik saya. Saya akan selalu juga menjadi sahabat terbaiknya. bukankah waktu telah membuktikannya? Dan, saya tahu, Tidak akan ada yang berubah.

Besok, hanyalah sebuah fase lagi dalam cerita kami. Cerita saya dan sahabat saya. Ya, kamilah peran utamanya. Jadi, tak ada yang perlu dicemaskan.  [Gita]

1 komentar:

  1. aahh, Gita, aku jebek-jebek bacanya :(

    sahabat boleh pergi, tapi ga akan lepas kok Git.

    selamat untuk pernikahannya ya.
    semangat *lap ingus*

    BalasHapus