Selasa, 17 Juni 2014

KARENA PELUKAN MERINGANKAN BEBAN





                                                                (gambar pinjam dari sini)
                                                                       
Hidup memang milik Allah dan kita masih sama-sama belajar memaksimalkan kesempatan yang diberikan. Tahun ini harus kau kenang sebagai tahun yang bersejarah, git. Betapa tidak, Allah mengingatkan lagi pada kita kalau segala sesuatu itu hanya berasal dari-Nya. Kau harus ingat, atuk, ayahmu terserang stroke saat baru satu minggu kita pulang bersenang-senang camping di Curug Nangka. Saat itu roda kehidupan terasa berbalik. Kebahagiaan yang baru saja membuncah pasca camping seketika berubah menjadi kesedihan. Semudah itulah Allah mengatur irama kehidupan manusia. Dan, di titik itu pula aku mengerti mengapa banyak orang bilang kalau pelukan hangat itu meringankan beban. Aku membuktikannya bersamamu. Saat itu kita sangat sering berpelukan, seperti gerakan refleks untuk saling memberi tambahan kekuatan saat kita gontai. Betul, pelukan memang meringankan beban.

Di luar sana, orang-orang sedang sangat riuh berpolitik. Luar biasa hingar-bingarnya, sampai-sampai tema obrolan kita belakangan ini juga membicarakan hal yang sangat mainstream itu. Aku ingat, di tengah-tengah obrolan kita kau sempat mengatakan seandainya kau tidak menikah denganku mungkin kau sama seperti orang-orang di luar sana. Orang-orang yang begitu membenci teman-temannya sendiri yang berbeda pilihan menjelang pemilu. Lucunya, kau juga bilang mungkin akan membenciku karena aku bersahabat dengan orang-orang yang sedang ramai diolok-olok di media sosial hari ini terkait afiliasi dan preferensi politik mereka. Kau salah, git, aku bukan hanya bersahabat dengan mereka, aku bersaudara dengan mereka.

Syukurlah, kau sudah bersamaku hari ini. Dengan begitu, kita tidak perlu berperang urat syaraf secara virtual dalam konteks pemilu. Aku beruntung, kau mau mendengarkan semua nasihat normatifku agar kita tetap waras menjalin pertemanan dan persahabatan dengan siapa saja. Intinya, aku beruntung karena kita sudah menjadi teman seperjalanan. Ini adalah kalimat halusnya, dengan kata lain, “aku sudah menundukkanmu, gita”. Senang rasanya bisa menjadi pimpinan perjalanan yang didengarkan arahannya. Seperti senangnya kita saat berhasil mengajarkan Nala untuk tidak makan kerupuk saat batuk. Senang rasanya diberi kepercayaan di tengah gejala pembangkangan terhadap budaya “patriarki” oleh sekelompok orang-orang latah. Meski aku tahu persis, kau jauh berbeda dari para pengasong feminisme itu. Lantas bagaimana, apa kita damaikan saja orang-orang yang meributkan pemilu di luar sana dengan pernikahan? Mungkinkah mereka akan jatuh cinta satu sama lain nantinya? Apa aku mulai terdengar seperti Mario Teguh? Hehe.

Aku tidak akan banyak menulis untukmu kali ini karena naif rasanya untuk membuat tulisan romantis pada seorang editor romance. Hanya saja, aku percaya bahwa kasih sayang bisa mengabadi pada tulisan. Bukan karena teksnya, tapi karena konteksnya. Seperti saat ini -- saat aku membuat tulisan ini. Setelah aku membaca ulang dari atas, aku merasa tulisan ini masih belum mewakili melankolia yang terjadi. Artinya, kau harus selalu memahami konteksnya untuk bisa meyakini bahwa tulisan ini sangat romantis. Dengan begitu, kau akan sanggup tersipu-sipu hanya dengan SMS-ku yang berbunyi, “lagi ngapain, bun?”.

Semoga, hari-hari di depan sana lebih mudah untuk dimaknai agar tidak terlewat begitu saja. Semoga, tidak ada lagi ketergesaan dalam hidup. Karena seluruh pencapaian hidup yang serba materialis itu hanya bualan para motivator. Semoga kita bisa memunguti hikmah yang disediakan oleh Allah di setiap perjalanan. Hikmah yang berserakan tapi kadang sering luput dari pengamatan. Tetaplah menjadi teman perjalananku, gita. Barakallah fi umrik ya zaujaty.



Rabu, 19 Juni 2013

Kita Bertransformasi


Analogi gunung dan kehidupan itu sudah banyak orang yang membahasnya. Tapi, aku tidak merasa tema ini basi, meskipun kerap merasa terwakili oleh tulisan orang lain. Bahkan, aku merasa perjalanan kita belum ada apa-apanya dibandingkan dengan kisah orang lain. Tuhan mengajarkan kita untuk selalu zuhud dalam memandang apapun di dunia. Jadi berusahalah untuk tetap rendah hati pada semua pencapaian hidup yang mungkin tidak bernilai apapun di mata-Nya.
Adalah jalan-jalan terjal yang mengakrabkan kita. Tanpa mereka, kita mungkin tidak mengenal sifat dan mengagumi satu sama lain. Betul, aku memang mulai mengagumimu kala mendaki. Hari ini, aku tidak menyangka sama sekali, jalan-jalan terjal itu bermakna simbolis pada hidup kita. Membina rumah tangga yang ternyata seperti meniti jalan terjal penuh tantangan sekaligus kegembiraan. Maka ingatlah, apakah kita pernah menangis kala mendaki, sekalipun tebing yang kita lewati mustahil menerbitkan senyum di wajah? Tidak! Kita tidak pernah menangis. Sebaliknya, kita selalu bergembira sambil terus bercanda untuk melupakan dingin yang menusuk tulang. Jadi kita juga tidak akan pernah menangis kala menjalani hidup sebagai suami-istri. Aku akan selalu meraih tanganmu untuk membantumu naik ke undakan berikutnya. Terus begitu, sampai nanti kita minum cokelat panas bersama-sama di puncaknya.
Tanpa terasa, akhirnya kita bertransformasi menjadi sosok baru yang beda dari sebelumnya. Sungguh, aku, kamu, sudah mulai membicarakan gunung-gunung dengan miris-melankolis, karena tahu persis kita tidak bisa mendakinya lagi seperti dulu. Bukan karena fisik yang melemah dan menua. Bukan pula karena waktu luang yang tidak ada. Tapi karena ada Nyala Matahari yang lebih kita rindukan di rumah dari sekadar sunrise hangat di puncak gunung. Betul, gadis itulah titik transformasi kita menjadi kita hari ini. Kita yang selalu hidup di dalam orbitnya. Gadis itulah yang membuat semua rencana kegiatan harus disusun ulang berdasarkan pemikiran “nala gimana?”.
Bagiku, kalian berdua hari ini dan seterusnya adalah orbit kehidupan. Tempat beribadah dan belajar memaknai hidup. Aku tidak pernah bisa membayangkan jika aku tidak bersamamu saat ini. Begitu pula dirimu yang selalu gundah saat aku tidak pulang di malam hari. Perasaan seperti itu harus selalu kita pelihara. Mungkin aku tidak pernah mengakuinya, tapi aku senang punya istri yang peresah seperti dirimu. Kau tahu, sesekali pastilah aku tidak bisa pulang ke rumah tepat waktu. Dulu aku membayangkan bakal melakoni adegan romantis seperti di film-film. Adegan saat seorang suami yang pulang larut malam lalu menemui istrinya yang sudah tertidur pulas. Adegan berikutnya tentu saja sang suami menyelimuti atau mengecup kening istrinya itu tanpa harus membangunkannya. Ternyata, kenyataannya tidak linier dengan adegan film. Selarut apapun aku pulang, kau pasti belum tidur karena khawatir. Dan belakangan aku menyadari, bahwa hal itu jauh lebih romantis daripada adegan di film-film. Betul juga, istri macam apa yang bisa tidur pulas saat suaminya belum sampai di rumah padahal sudah dini hari.
       Barakallah fi umrik istriku sayang. Semoga hari-hari berikutnya Allah selalu menuntun langkah kita. Betapa banyak orang yang terjatuh di tikungan terakhir, atau dalam bahasa kita di tanjakan terakhir. Dan semua tanjakan bakal terasa lebih ringan kalau kau bersamaku, menungguku pulang, dan menyambutku dengan hangat. (wiRa)  

Selasa, 02 April 2013

Nala dan Dunia Kata









Waktu berjalan begitu cepat. Tiba-tiba, gadis kecil bernama nyala matahari sudah berusia 20 bulan. Sejak ia mulai bisa berjalan di usia 13 bulan, tingkah lakunya semakin menjadi-jadi. Dia sudah pandai meminta sesuatu sambil merengek. Sudah bisa bermain sendirian, ke sana-kemari. Sudah bisa berpura-pura menangis. Dan tentu saja, sudah bisa menangis keras tanpa sebab yang jelas, atau yang sering disebut “tantrum”.

Dari sekian banyak perkembangan saraf motorik dan sensorik yang dimiliki Nala, saya paling antusias dengan kumpulan kosakata yang sudah bisa ia ucapkan. Semua diksi yang diucapkan nala terasa sangat lucu dan menggemaskan. Di antara kosakata itu adalah;

Jacuh
Ini adalah kata pertama yang bisa diucapkan Nala secara jelas. Yang dimaksud Nala adalah “jatuh”. Penggunaannya sangat pas dengan konteks. Nala selalu mengucapkan kata ini setiap kali melihat benda yang terjatuh atau yang sengaja ia jatuhkan. Nala juga mengucapkan kata ini saat melihat anak-anak kecil yang terjatuh di lapangan kala bermain. Pernah suatu ketika, saat kami sedang pergi ke Jogja dengan pesawat terbang, nala mengucapkan kata “jacuh” berulang kali dan dengan sangat keras di dalam kabin. Kontan saya menjadi tidak enak dengan penumpang lainnya. Saat itu, pesawat baru saja ingin lepas landas. Dan pramugari baru saja selesai memberi pengarahan mengenai prosedur keselamatan. Padahal, yang dimaksud Nala adalah buah anggur yang terjatuh ke lantai saat ia sedang memakannya.


Ayah
Kata yang satu ini sudah bisa diucapkan Nala sejak 12 bulan dengan sangat jelas tanpa cadel sedikit pun. Sebelum bisa memanggil “Ibun”, Nala juga menyebut Gita dengan sebutan “Ayah”, hehehe, terutama saat sedang menangis dan meminta gendong.
Nala sangat mengerti konsep kata ayah ini yang memang diasosiasikan langsung kepada diri saya. Jadi, setiap melihat semua barang-barang milik saya, dia akan berkata “ayah”. Nala akan berkata ayah sambil menunjuk ke arah benda-benda milik saya seperti sepeda, jaket, helm, motor, bahkan celana cargo saya.
Setiap melihat laki-laki dewasa naik sepeda, dia akan berteriak antusias “Ayah, ayah…” seolah-olah hanya ayahnya sendirilah yang bisa naik sepeda J

Baba
Kata ini juga dieja dengan sangat jelas sejak 11—12 bulan. Yang dimaksud dengan baba adalah video music elmo dari Sesame Street. Dalam satu scen, Telly, teman Elmo, bernyanyi “Baba black sheep” dengan lirik “ba .. ba .. black sheep have you any wool? …” karena Nala sangat senang dengan lagu itu, jadilah setiap kali ia meilhat gambar Elmo ataupun karakter-karakter di sesame street, ia akan berteriak (kadang histeris) babaaaaa. Sekarang, nala lebih menyukai video Barney and Friends yang memang lebih banyak berisi nyanyi2an dan tari2an. Lucunya, Nala juga menyebut video Barney ini dengan sebutan baba.
Di usia sekarang, Nala sudah bisa menyebut “Mo,” untuk Elmo, “Baneeey” untuk Barney, dan “Bob”, untuk Baby Bob –(lalu, langsung melompat, hop, hop, hop, tiap kali disebut baby bob)

A… aa…aaa (sambil mendongak)
Cuma kami, orang di rumah, yang mengerti deretan kata yang tidak jelas ini. Intinya, itu adalah sebutan lain untuk salah satu lagu di video Barney. Judul lagu itu “IfThe Snowflake”, liriknya berbicara mengenai imajinasi Barney dan teman-temannya tentang butir salju yang berubah menjadi es krim, permen, dan lain-lain. Di bagian tengah lagu, Barney dan teman-temannya mengadah sambil menjulurkan lidah mereka seraya bernyanyi a.. a …a begitulah.
Nah, Nala sering kali meniru gaya Barney mendongak ini sambil berteriak A… aa…aaa.

Gajah
Maksudnya Nala adalah gajah, mamalia besar dengan belalai panjang dan kuping lebar. Nala histeris sewaktu bertemu gajah secara langsung di taman safari beberapa waktu lalu. Sejak saat itu, Nala selalu mengenali gajah sekalipun hanya berbentuk kartun ataupun boneka. Tapi, sebelum Nala mulai pandai mengidentifikasi perbedaan antara gajah, unta, kuda, dan binatang lain, ia selalu menyebut semua binatang besar dengan gajah. Pokoknya, kalau ada binatang besar yang ia tidak tahu namanya ia akan bilang kalau itu gajah.

Aung
Maksudnya Nala adalah kucing. Biasanya, kami sering main tanya jawab dengan Nala tentang suara-suara hewan. Ketika kami tanya “suara kucing gimana, nala?” Ia akan segera menjawab “aung”. Ketika Nala mulai mengidentifikasi kemiripan antara kucing dengan cheetah, singa, ataupun harimau, ia tetap menyebut semua binatang itu dengan aung.

Guguk
Maksudnya Nala adalah suara anjing. Tapi, selama Nala belum bisa mengucapkan kata anjing, maka ia memakai kata guk untuk menyebut anjing. Tetangga kami ada yang memelihara anjing jenis pudel yang diberinama Bul-Bul. Setiap sore bul-bul diajak jalan-jalan dan Nala mengenali bentuk bul-bul serta suara gonggongannya sebagai anjing. Saat suara bul-bul terdengar dari dalam rumah, Nala akan langsung mengikutinya dengan guk .. guk.

Ciap
Kata yang satu ini artinya adalah ayam. Ayam hidup, ataupun ayam goreng. Pokoknya untuk menyebut ayam, Nala menggunakan kata ciap. Tidak ada yang mengajari Nala mengeluarkan kata ini, tapi, ketika kami memelihara sepasang ayam di rumah, Nala mulai meniru suara anak ayam itu yang terdengar seperti bunyi “ciap..ciap”. Karena Nala tidak kunjung berhasil menyebut kata ayam, akhirnya kami ikut menyebut ayam dengan sebutan ciap.
Kalau ditanya, “Nala sudah makan?”
Nala: “Dah (udah)”
“Pakai apa?”
Nala: “Ciap.” –meski lauknya ikan, tahu, atau yang lain, dijawab selalu ciap J

 

Mamam
Standar ucapan anak seumur Nala. Artinya adalah makan atau makanan. Yang membedakan hanya intonasinya, kalau mamam diucapkan datar itu artinya Nala sedang memberi konfirmasi bahwa itu adalah makanan. Tapi, kalau mamam diucapkan dengan agak ngotot, itu artinya Nala meminta makan. Suatu pagi, saya mengajak Nala membeli lontong sayur di prapatan. Nala yang saya gendong menyebut mamam dengan datar saat ia melihat abang lontong sayur menuangkan sayur ke atas lontong. Namun, Nala mengubah intonasi kata mamam itu menjadi agak histeris ketika si abang menaruh sejumlah kerupuk di atas mangkuk lontong. Cukup mudah untuk dimengerti bukan? Cat: kerupuk adalah makanan favorit Nala.

Nenen
Yang dimaksud nala adalah minum air susu ibunya. Saya agak lupa kapan persisnya Nala bisa mengucapkan kata ini dengan jelas, tapi yang saya ingat sejak saat itu ia selalu memakainya di segala situasi. Nenen adalah hal terpenting bagi Nala. Ia tidak bisa tidur malam hari kalau tidak sambil nenen. Untunglah, ia sudah bisa memintanya langsung tanpa bahasa isyarat seperti waktu bayi dulu.

Babot
Yang dimaksud Nala adalah uang kertas. Sejarahnya, Nala sering diajak oleh neneknya membeli perkakas di tukang perabotan yang datang dengan mobil pick up. Setiap kali mobil itu datang, biasanya speaker yang dipasang di mobil itu akan mengucapkan kata “perabot... perabot ..”, dst. Balita seperti Nala biasanya sangat senang dengan display barang-barang perkakas yang terbuat dari plastik dengan warna-warna menarik. Dan setiap kali Nenek Nala melakukan transaksi, Nala melihat uang kertas itu sebagai alat tukar perkakas yang dibeli. Sejak itulah, Nala selalu menyebut uang kertas sebagai babot setiap kali ia melihatnya. Sekarang, Nala juga menyebut babot untuk pintu tol karena kerap menggunakan uang kertas saat transaksinya.



Awoh
Kata ini memiliki makna yang sangat banyak. Kata awoh digunakan Nala untuk menyebut sholat, masjid, azan, dan tilawah quran. Makna awoh yang pertama adalah sholat. Nala sendiri yang mengucapkan kata itu setiap kali ia melihat orang sholat di rumah. Kemungkinan besar, Nala meniru ucapan Allahu Akbar yang terdengar kala kami sholat berjamaah di rumah. Jadi, di mana pun, kapan pun, kalau ada orang sholat pasti Nala langsung mengucapkan awoh. Tidak hanya itu, nala juga menyebut masjid dengan awoh. Ia mengenali karakter bangunan masjid yang memiliki kubah. Setiap kali melihat bangunan masjid dengan kubah, pasti Nala langsung menunjuknya dan mengatakan awoh. Makna selanjutnya dari kata awoh adalah azan. Setiap kali mendengar lantunan azan, maka Nala akan berkata awoh. Terutama azan magrib yang ada di televisi. Makna berikutnya dari kata awoh adalah tilawah quran. Setiap kali Nala mendengar bacaan quran, ia langsung mengucapkan awoh.

NDa.. ada
Artinya adalah “Nggak ada”. Yang lucu dari pengucapan kata ini adalah mimik wajah Nala. Ia selalu mengucapkan kata ini dengan mimik yang serius dan alis mata yang dirapatkan. Penggunaan kata ini juga sesuai dengan konteks. Artinya, setiap kali ia gagal menemukan sesuatu yang dicari maka ia akan berkata Nda…ada—sambil geleng-geleng dan mata belo kebingungan.

Nda au
Artinya “nggak mau.” Setiap kali dia menolak melakukan sesuatu atau video barney yang diputar tidak sesuai keinginannya, Nala akan menggeleng-geleng sambil bilang “Nda au, Nda Au.” Lalu, tangannya akan digoyang-goyangkan seperti orang menolak sesuatu.

Ehkim
Es kriiiim…. Ini makanan favorit Nala. Kalau masuk alfamart, setiap melihat bak es krim, Nala akan antusias berteriak dan menunjuk “eh… kiiiimmm, woow.” Meski belum tentu dibelikan. Karena jatah makan es krim Nala hanya di hari Sabtu dan Minggu saja.


Panggilan untuk anggota keluarga
buun                                                    : gita (panggilannya ibun)
Bai                                                       : ombai (nenek Nala—ibu Gita_
Tuuk (agak monyong diucapkannya) : atuk (kakek Nala—ayah Gita)
Tii                                                        : Mbah Uti (ibu saya)
Antete atau ce                                      : ante ceng (ice—adik Gita)
Ieed                                                      : Ibu Iwied (iwied, si penjual kenangan, sahabat gita)

 




















(wiRa)

Selasa, 02 Oktober 2012

Dua Tahun Cerita


Pernah suatu ketika, saat kita sedang berbulan madu, kita di sebuah rumah makan bersama sepasang suami istri paruh-baya yang duduk di bangku sebelah. Saat itu, kita sedang menjadi sepasang pengantin baru, sedangkan pasangan suami-istri yang kita lihat sepertinya sudah menjalani perkawinan selama 15 atau mungkin 20 tahun lebih.
                Saat itu, kita heran dengan pasangan suami-istri itu yang tidak saling berbicara, tidak saling bercanda, seolah tidak saling mengenal. Kalau mereka pasangan selingkuh aku pikir itu tidak mungkin. Bukankah pasangan selingkuh itu biasanya justru sangat intim dan kadang “berlebihan”? Mereka juga tidak tampak sedang bertengkar, karena memang sangat aneh orang bertengkar tapi memilih makan bareng di sebuah rumah makan yang agak mahal.
                Yang tidak pernah kita tahu adalah, bagaimana mereka menjalani kehidupan rumah tangga selama ini. Apakah sudah habis semua tema pembicaraan sampai mereka tidak bisa lagi saling bercerita? Atau mungkin anak-anak mereka yang sudah tidak penting untuk dibicarakan? Sungguh, ternyata tidak kali itu saja kita melihat sepasang suami-istri yang tidak saling berbicara saat mereka jalan berdua. Bahkan , saat mereka bersama dengan anak-anak mereka. Ada apa dengan mereka sebenarnya?
                *Pembahasan ditunda dulu
                Dua tahun terindah dalam hidup sudah aku lewati bersamamu. Dua tahun yang sama sekali tidak membuat kita semakin kehilangan bahan pembicaraan. Justru semakin banyak hal yang harus kita diskusikan. Iya, bercerita adalah suatu hal yang membuat aku dan dirimu betah untuk berkumpul di rumah. Aku tahu rasanya ditinggal tidur saat kau masih ingin bercerita. Aku juga tahu rasanya, saat kau sedang bercerita, tapi aku tidak konsen mendengarkan. Aku tahu semua rasanya. Karena aku juga selalu ingin bercerita dan berbagi cerita denganmu. Saat aku pulang terlalu malam, pastilah cerita itu akan kuberikan di pagi hari di tengah kesibukanmu menyiapkan makanan Nala. Intinya, tidak ada cerita yang tidak aku bagi denganmu.
                Tidak hanya bercerita, tapi juga mengeluh. Benar, mengeluh. Mungkin terdengar negatif, tapi hanya denganmulah aku bisa mengeluhkan banyak hal. Mengeluh mengenai kesehatan. Mengeluh tentang berat badan. Mengeluh tentang beban pekerjaan. Semua itu hanya bisa aku keluhkan di depanmu. Begitu pula kau yang boleh mengeluh kapanpun kau mau. Hati dan jiwaku menerima segala keluh kesah yang mungkin tidak bisa kau tampilkan di depan orang lain. Betapapun kau sangat kuat menjalani hidup, kau bisa mengeluh dan sakit di depanku kapan saja. Dengan itulah kita bisa saling memberi kasih sayang yang sudah kita azzamkan dua tahun yang lalu.
                Kalau boleh menganalisis, mungkin saja pasangan suami-istri yang kita lihat saling tak berbicara itu selama ini memang jarang bercerita. Atau mungkin keluhan mereka selalu tertahan di rongga dada. Orang bilang hal seperti itu akan membuat dadamu terasa sesak. Mungkin saja . .. kita tidak pernah tahu. Hari ini tepat dua tahun pernikahan kita. Doa-doa sudah banyak yang dilangitkan (aku pinjam kontraksi kalimatmu). Kita tidak pernah tahu kapan Allah memanggil kita. Seperti  yang ditulis dalam lirik lagu SO7, “hingga nanti di suatu pagi, salah satu dari kita mati . ..”. Namun, sampai saat itu tiba, aku tidak akan pernah berhenti bercerita dan mengeluh padamu. Bodohlah orang yang menggunakan kalimat “kita berteman saja” untuk memutuskan kekasih mereka. Terima kasih sudah menjadi teman hidup yang sebenar-benarnya untukku. Teman bercerita, teman berjalan, teman di segala situasi. Terima kasih, ibun cantiq. (wiRa)

Kamis, 02 Agustus 2012

barakallah fi umrik ya zaujaty


Malam hari, tanggal 17 Juni, Musdah Mulia berkicau di acara talkshownya Slamet Raharjo di TVRI. Dia bilang, umat Islam perlu melakukan reinterpretasi ayat-ayat yang membuat kedudukan wanita tidak setara dengan kaum lelaki. Saat itu, aku sangat ingin membangunkanmu untuk menonton bersama talkshow feminisme itu. Aku pikir, acara seperti itu asyik ditonton bagi kita yang tidak sependapat dengan para aktivis feminis seperti Musdah Mulia. Tapi, ternyata kau sedang tidur bersama Nala, anak cantik itu. Aku urung membangunkanmu, karena membangunkanmu sama artinya menganggu kenyamanan tidur Nala. Kita tahu persis, Nala tidak bisa tidur nyenyak kalau kau tidak ada di sebelahnya. Terpaksa, aku tonton sendiri diskusi seru itu. Dan tengah malam itu, kau berulang tahun.
Aku minta maaf karena belum bisa memberikanmu nafkah secara benar. Nafkah lahir  yang seharusnya berupa makanan siap santap malah aku konversi dalam bentuk uang belanja. Alih-alih sudah menjadi tradisi di masyarakat kita. Dan akhirnya, kau terbiasa membuatkanku sarapan dan makan malam yang sejatinya sama sekali bukan tanggung jawabmu. Aku minta maaf sekaligus berterima kasih kau mau menerimaku apa adanya. Membuatkanku sarapan dan makan malam yang lezat. Tapi, kau tahu, orang-orang feminis itu mencoba untuk membuatmu keluar dari rumah dan bisa mencari nafkah untuk keluarga atas nama kesetaraan gender. Oh tidak, mereka semakin memojokkanku. Padahal, kau bekerja selama ini bukan untuk dirimu sendiri. Dan kau tidak pernah bekerja atas dasar kesetaraan gender. Kau bekerja untuk mengakselerasi mimpi-mimpimu, dan kali ini kau selaraskan dengan mimpi-mimpiku, mimpi-mimpi kita.
            Sejenak, aku berpikir, sudah sampai mana kita berjalan bersama-sama selama ini? Apakah diskusi kesetaraan gender masih layak kita dengarkan? Sepertinya, aku sudah bersyukur dengan dirimu yang selalu  menerimaku sebagai pemimpin rumah tangga. Sebagai suami yang memiliki kewajiban ini-itu untuk istri dan anaknya. Aku tidak pernah takut dengan banyaknya buku yang kau baca, karena kau selalu bisa mengelaborasinya dalam koridor akhlak seorang muslimah. Aku tahu kau selalu ingin lebih baik lagi, dan kau harus tahu kita tidak perlu saling menunggu untuk hal itu.
            Aku yang masih mencari-cari bentuk suami ideal, tentu saja gerah dengan diskusi feminis, apapun konteksnya. Jangankan untuk mengekang seorang istri, untuk memberi teladan yang baik saja susahnya bukan main. Justru aku yang selama ini mengambil hikmah dari setiap aktivitasmu dengan Nala. Melihatmu yang begitu menyayangi Nala, membuatku harus mengingat lagi betapa dulu ibuku pasti juga memberi kasih sayang yang sama seperti itu. Semakin aku melihatmu menyayangi Nala, semakin aku menyayangi ibuku. Dan tentu saja, kau sudah lebih dulu mempraktikkan hal itu dengan ibumu. Terima kasih, Gita Romadhona, istriku. Semoga umur kita berkah, tetaplah berusaha menjadi teladan bagi Nala. Tetaplah menjadi temanku membaca ayat-ayat Allah, bukan merekonstruksinya. Amien ya rob..

Selasa, 24 April 2012

selamat pagi, pejalan

waktu bertebaran dan berputar tanpa terasa, ya. pagi kita seolah menjelma dalam putaran rotasi yang tak sempat kita tunggu lagi. namun, perjalanan semakin menyenangkan, bukan?

mungkin, berkali-kali aku tak sempat mengucap terima kasih. untuk ajakan bangunmu di kala subuh sementara kantuk masih menyekapku dalam kenyamanan. untuk segelas air yang kau sodorkan saat aku terlalu malas beranjak dari depan TV. untuk selalu percaya menaruh mimpi-mimpi dalam tanganku, dan membantunya menjelmakan. aku sering lupa, untuk mengucapkan terima kasih.

selamat pagi, pejalan
hari ini, mari berhenti sejenak. mari mengingat tentang berkat yang lupa kita semat.

selamat pagi, pejalan
mimpi-mimpi yang kau bantu jelmakan nanti tentu saja adalah inginku agar selalu berjalan bersisian denganmu. maka, jangan sekali-kali lepaskan tanganmu. berjanjilah. untuk terus berada dalam subuh-subuhku yang nyenyak. untuk terus menghangatkan ruang dalam cerita yang semakin hari semakin menyempurna.

selamat pagi, pejalan
selamat pagi, kekasih hati
selamat pagi, suamiku

kau dan aku akan menua, tentu saja
dan semoga selalu bersama bahagia :)

for: 25 April 2012

I owe the picture from here


Sabtu, 21 April 2012

 
Seorang muslim adalah saudara orang muslim yang lainnya, tidak boleh menzaliminya, tidak boleh menghinanya, dan tidak juga meremehkannya… cukuplah seseorang telah berbuat kejahatan jika ia meremehkan saudaranya yang muslim,” [HR MUSLIM]

Tentang bagaimana memaknai, memang bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Seolah sebuah karya sastra yang multiinterpretasi, hidup pun sedemikian rupa. Mungkin, suatu senja bagi seseorang begitu indah dan membuat bahagia, siapa yang tahu kalau orang yang lain diam-diam merutukinya.

Begitupula dengan sebuah profesi. Bisa jadi, bagi seseorang profesinya ia anggap menyenangkan dan berguna, tidak ternyata untuk seorang yang lain. Bisa jadi, si orang lain ternyata menganggap rendah profesinya itu.

Tentang bagaimana memaknai, itulah yang bisa saya tangkap sore ini saat saya tak sengaja membaca komen di Facebook seorang teman.

Si teman—sebut saja begitu—memposting sebuah foto sambil berharap suatu saat anaknya bisa kuliah di FK UI (foto yang diposting). Doa yang baik ini tentu saja bersambut amin dari beberapa temannya. Salah satu komen malah berdoa semoga anaknya pula masuk kampus yang sama. Sayangnya, si teman malah menjawab, kalau si anak teman yang lain itu masuk ke Unindra saja—yang dosennya Wira (suami saya).

Tepatnya, ia berkata begini, “si_____ nt kuliah di Unindra aja diajar om Wirawan Sukarwo, he2..”.

 Tertegunlah saya. Saya merasa ada yang salah dengan kalimat sarkas ini. Kesan meremehkan yang keluar bukan cuma untuk Wira, tetapi juga untuk Unindra. Seolah-olah, Unindra hanya tempat “jelek” bagi mereka yang tidak pantas kuliah di UI. Saya merasa ada yang salah tentang cara memaknai si teman ini. Jadi, mari saya ceritakan sedikit.

Wira, dulu sahabat saya (7 tahun), kini suami saya (1 tahun 5 bulan), memang sekarang menjadi dosen di Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA). Teman-teman Wira yang kenal baik pasti tahu kalau passion Wira memang mengajar.

Saat ia memutuskan menjadi dosen, melepas peluang-peluang menjadi PNS—seperti keinginan orangtuanya, saya mendukung saat itu juga. Karena saya tahu, inilah passion Wira. Bagi saya, tidak ada yang lebih baik, selain bekerja dalam bidang yang dicintai. Kebetulan pula, saya pembenci orang-orang oportunis, dan berdoa setiap malam semoga saya dan suami tidak terjebak dalam dunia kerja yang penuh orang-orang itu. Alhamdulillah, sepertinya Allah mendengar doa saya. Menjadi editor adalah dunia yang memang saya nikmati, dan menjadi dosen adalah dunia yang benar dirindu oleh Wira.

Setiap pulang bekerja, saya dan Wira selalu mengulang apa yang terjadi hari itu di tempat kerja masing-masing. Dan, mengalirlah banyak cerita tentang Unindra.
Unindra memang didirikan oleh yayasan PGRI dan bertujuan mencetak guru-guru yang santun dan berpendidikan, begitulah kira-kira visi mereka. Tidak ada yang lebih mulia, bukan?
Tentu saja, Unindra tidak se-elite UI (saya dan Wira adalah alumni UI), tetapi (lagi-lagi) menurut saya, tidaklah patut membuatnya seolah-olah jauh lebih tidak berkelas dibandingkan UI.

Setiap malam, Wira akan menceritakan karakter mahasiswa-mahasiswanya. Tentu saja, tidak bisa dibandingkan “penguasaan akan pengetahuan umum” mahasiswa-mahasiswa Unindra dengan teman-teman yang dulu bareng kuliah di UI. Namun, mata mereka tampak selalu haus akan ilmu, begitu kata Wira, yang matanya pun tampak bersinar saat bercerita. Setiap bertemu di mushola atau kantin, mahasiswa-mahasiwa ini akan mencium tangan Wira. Seolah mesin waktu berputar dan kita kembali ke zaman SD, saat kita sangat hormat pada guru yang mengajar. Rasa respek, haus akan ilmu, dan semangat untuk mengubah nasib, itulah yang selalu menyemangati Wira setiap akan mengajar.

Saya pun selalu senang mendengar kisah-kisah di kelas Wira. Kadang ikut bersimpati, misalnya saat tahu beberapa mahasiswa harus berkejar-kejaran membagi waktu antara kuliah dengan bekerja. Rata-rata, mahasiswa Unindra adalah pegawai Giant, Indomaret, Alfamart, dan sejenis. Hidup yang tak berpihak, tak membuat mereka menyerah untuk mengubah nasib.
Tidak seperti di UI yang bebas menggunakan apa saja saat kuliah (dulu saya bahkan mengenakan kaus oblong, jeans, dan sandal jepit ke kelas)—di Unindra mahasiswanya harus memakai kemeja dan bersepatu. Mereka nantinya akan jadi guru, yang digugu dan ditiru, jadi sejak dinilah harus ditanamkan akhlak-akhlak yang baik, begitu kira-kira yang sempat diceritakan Wira tentang alasannya.

Uang kuliah di Unindra memang terbilang murah (bagi mereka yang mampu). Per semester para mahasiswa ini ditarik bayaran Rp600 ribu. Bandingkan dengan UI, yang per semesternya saja sudah berapa juta. Mungkin pula alasan ini yang membuat si teman terkesan “meremehkan” Unindra. Padahal, bagi mahasiswa-mahasiswanya, uang 600 ribu itu pun terkadang sulit. Tak jarang, saat akan ujian, Wira dan beberapa teman dosennya berembuk mengumpulkan dana untuk mahasiswa yang tak bisa ikut ujian karena tak mampu membayar SPP. Hal yang (hampir) tak pernah terjadi di UI.

Kualitas Unindra juga (menurut saya) tidaklah seburuk dugaan si teman (sehingga sangat takut anaknya kuliah di sana). Wira kebetulan mengajar di program studi Desain Komunikasi Visual. Teman-teman dosennya yang mengajar, rata-rata adalah jebolan dari IKJ atau desain komunikasi visual Trisakti, tentu saja yang sangat kompeten di bidangnya. Salah satunya, Winni Gunarti (silakan searching di google) adalah penulis beberapa buku dan sering ikut seminar baik tingkat nasional maupun internasional. Wira sendiri menyelesaikan S1 dan S2 di UI. Jadi, menurut saya tidak ada alasan mereka tidak mengajar dengan baik.
Mahasiswa-mahasiwanya pun banyak yang berbakat. Bahkan, seorang mahasiswa menarik perhatian saya karena ilustrasi yang ia buat menyamai ilustrasi yang dibuat illustrator unggul. Ia berada di tempat yang tepat, bukan?

Jadi, jika memang tidak (mampu) lulus UI, apa salahnya kuliah di Unindra?

Ah, mungkin memang masing-masing orang berbeda memaknai segala sesuatu. Abaikan saja, jika Anda tidak setuju dengan apa yang saya sampaikan. Saya hanya sekadar bercerita. Tentang tempat orang-orang merajut mimpi yang akhir-akhir ini lekat dalam hidup saya sehingga ikut terluka saat ada yang meremehkannya, meski mungkin hanya bercanda.