Rabu, 30 Maret 2011

SAMAKAN RASA


Aku sudah memahami bahwa menikah adalah menyatukan dua keluarga, bukan hanya dua orang. Namun, aku baru memahami kalau menikah itu juga artinya menyatukan dua lidah. Bukan, ini bukan hal tentang percumbuan, tetapi ini benar tentang selera makanan.

Akhirnya, setelah 6 bulan menikah, aku dan istriku bisa menyamakan selera makanan kami. Luar biasa, karena sekarang aku menjadi orang yang sangat menggemari masakan istriku sendiri. Selama ini, kami selalu menyelesaikan masalah selera itu dengan membeli makanan di luar. Efeknya jelas sangat terasa pada pengeluaran yang tidak sedikit. Kami sulit berbagi makanan karena punya lidah yang berbeda selera. Gita yang Sumatra terbiasa dengan rasa pedas, asin, dan kering. Aku yang Jawa terbiasa dengan rasa manis dan kuah basah.

Namun, ternyata Gita bisa memasak berbagai menu yang ia suka. Sampai hari ini, ada beberapa menu kesukaannya yang sudah beberapa kali diulang dan ternyata dapat pula aku nikmati. Pertama, ia suka sekali sambal goreng udang. Kedua, ia juga suka memasak teri sambal hijau. Masakan yang satu ini juga sering dibuat oleh ibuku, tapi dengan cita rasa yang berbeda. Rasa masakan istriku sedikit lebih gurih dan pedas dibandingkan masakan ibu. Ketiga, Gita senang membuat terong goreng tepung. Menu yang satu ini meski tidak terlalu istimewa, selalu menambah selera makan ketika dihidangkan bersama sambal tomat yang diracik tidak terlalu pedas. Menu keempat, menu favorit kami, tumis kangkung atau cah kangkung. Menu berikutnya adalah sayur asam. Nah, kalau yang satu ini lidahku tidak terlalu senang. Gita suka sayur asam dengan gaya betawi yang asam dan sedikit gula. Sedangkan aku terbiasa makan sayur asam dengan rasa agak manis. Jadi, kalau ia memasak sayur asam, sudah pasti ia makan sendiri.

Buku resep masakan untuk ibu hamil dan lain-lain sering kami buka-buka. Terkadang, niat untuk membuat salah satu atau beberapa menu dalam buku tersebut begitu kuat. Namun, biasanya ketika sampai di supermarket atau tukang sayur, pilihan bahan baku makanannya akan kembali ke paragraf sebelumya. Benar kata iklan mie instan, lidah memang tidak bisa berbohong. [wiRa]

we owe the picture from here

NGUPATI

Hari Kamis, 10 Februari yang lalu, aku dan Gita pergi ke RS.Hermina untuk periksa kehamilan rutin. Kunjungan itu merupakan kunjungan yang keempat kalinya. Artinya, umur janin dalam kandungan Gita sudah 4 bulan. Syukur alhamdulillah, sejauh ini semua tampak sehat-sehat saja.
Ada sebuah tradisi dalam budaya Jawa dalam menyambut usia kehamilan 4 bulan. Tradisi itu disebut "ngupati" yang berasal dari kata ketupat. Ketupat berbentuk segi empat yang diasosiasikan sebagai umur janin dalam kandungan yang sudah 4 bulan. Secara teknis, ngupati berarti membuat ketupat serta lauk-pauknya untuk dihidangkan atau dibagikan kepada tetangga dan kerabat di sekitar rumah.

Untuk itulah, hari Jumat tanggal 11 Februari, aku dan gita pergi ke Jatilawang untuk melaksanakan tradisi tersebut. Pada awalnya, kami berencana pergi sekeluarga menggunakan mobil seperti halya ritual mudik lebaran. Namun, ibuku ternyata memiliki agenda yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga rencananya berubah total. Aku pergi bersama gita dan adik iparku Ice yang masih kuliah di Bandung. Kami pergi bertiga menggunakan kereta api kelas bisnis dari stasiun Jatinegara. Perjalanan yang cukup berkesan mengingat aku sudah cukup lama tidak bepergian dengan kereta api ke luar kota.
Sesampainya di Jatilawang, kami betul-betul beristirahat. Pikiran dan hati rasanya sangat tenang. Pergi ke kampung pada momen selain lebaran betul-betul memberikan efek relaksasi yang dahsyat. Sajian teh tawar hangat dengan kudapan seperti pisang rebus, kacang rebus, dan mendoan merupakan makanan terlezat di saat-saat seperti itu. Acara ngupati yang direncanakan baru akan dilaksanakan keesokan harinya. Hari itu, kami bercengkrama dengan nenek dan keluargaku yang tinggal di sana.

90% acara ngupati dilakukan di dapur. Artinya, memasak ketupat dan lauk-pauk adalah keseluruhan teknis acara ngupati. Karena itu, aku dan gita tidak perlu harus ikut campur mengingat sumber daya manusia yang ada di kampung lebih dari cukup. Mereka sangat antusias dan gesit membuat bungkusan ketupat. Tidak terasa, tiba-tiba semua ketupat sudah habis dibagikan. Nenekku menyisakan sedikit di meja makan untuk hidangan makan malam.

Jika kita merujuk kepada sunah atau hadis, maka tidak akan ada satu dalil pun yang membahas tradisi ngupati. Namun, bagi saya, ini hanyalah amalan sedekah yang biasa saja dan tidak menggunakan ritual tersendiri. Yang dilakukan hanyalah memasak ketupat beserta sayurnya kemudian langsung dibagikan. Tidak ada pensyaratan yang macam-macam seperti jumlah ketupat yang dibuat, jenis lauk yang boleh dimasak dan sebagainya. Karena itulah, kami menjalankan tradisi ini dengan keyakinan bahwa tidak ada masalah akidah yang disengketakan kali ini.

Keterbatasan alat transportasi di Jatilawang membuat kami tidak bisa bepergian ke tempat-tempat menarik di sekitar sana. Bisa dikatakan, selama 3 hari kami hanya di rumah dan sesekali jalan-jalan ke sawah dan sungai terdekat. Untunglah, kami membawa kamera DSLR yang masih dicicil untuk memaksimalkan kesenangan. Di Jatilawang juga ada sepupu-sepupuku, Fadil dan Ami yang sedang beranjak "gede". Mereka sopan dan menyenangkan untuk diakrabi.
Hari senin pagi kami bersiap-siap pulang kembali ke Jakarta. Ikut bersama kami dalam kereta adalah mbah Jatun dengan Lik Agus anaknya. Alhamdulilah, kami tiba dengan selamat pada sore hari dengan oleh-oleh rasa lelah.