selamat pagi, pejalan
waktu bertebaran dan berputar tanpa terasa, ya. pagi kita seolah menjelma dalam putaran rotasi yang tak sempat kita tunggu lagi. namun, perjalanan semakin menyenangkan, bukan?
mungkin, berkali-kali aku tak sempat mengucap terima kasih. untuk ajakan bangunmu di kala subuh sementara kantuk masih menyekapku dalam kenyamanan. untuk segelas air yang kau sodorkan saat aku terlalu malas beranjak dari depan TV. untuk selalu percaya menaruh mimpi-mimpi dalam tanganku, dan membantunya menjelmakan. aku sering lupa, untuk mengucapkan terima kasih.
selamat pagi, pejalan
hari ini, mari berhenti sejenak. mari mengingat tentang berkat yang lupa kita semat.
selamat pagi, pejalan
mimpi-mimpi yang kau bantu jelmakan nanti tentu saja adalah inginku agar selalu berjalan bersisian denganmu. maka, jangan sekali-kali lepaskan tanganmu. berjanjilah. untuk terus berada dalam subuh-subuhku yang nyenyak. untuk terus menghangatkan ruang dalam cerita yang semakin hari semakin menyempurna.
selamat pagi, pejalan
selamat pagi, kekasih hati
selamat pagi, suamiku
kau dan aku akan menua, tentu saja
dan semoga selalu bersama bahagia :)
for: 25 April 2012
I owe the picture from here
di sini tempat kami mengumpulkan cinta. musim demi musim. hangat di musim hujan. meneduhkan di musim hangat.
Selasa, 24 April 2012
Sabtu, 21 April 2012
“Seorang muslim adalah saudara orang muslim
yang lainnya, tidak boleh menzaliminya, tidak boleh menghinanya, dan tidak juga
meremehkannya… cukuplah seseorang telah berbuat kejahatan jika ia meremehkan
saudaranya yang muslim,” [HR MUSLIM]
Tentang
bagaimana memaknai, memang bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Seolah sebuah karya
sastra yang multiinterpretasi, hidup pun sedemikian rupa. Mungkin, suatu senja
bagi seseorang begitu indah dan membuat bahagia, siapa yang tahu kalau orang
yang lain diam-diam merutukinya.
Begitupula
dengan sebuah profesi. Bisa jadi, bagi seseorang profesinya ia anggap menyenangkan
dan berguna, tidak ternyata untuk seorang yang lain. Bisa jadi, si orang lain
ternyata menganggap rendah profesinya itu.
Tentang
bagaimana memaknai, itulah yang bisa saya tangkap sore ini saat saya tak
sengaja membaca komen di Facebook seorang teman.
Si
teman—sebut saja begitu—memposting sebuah foto sambil berharap suatu saat
anaknya bisa kuliah di FK UI (foto yang diposting). Doa yang baik ini tentu
saja bersambut amin dari beberapa temannya. Salah satu komen malah berdoa
semoga anaknya pula masuk kampus yang sama. Sayangnya, si teman malah menjawab,
kalau si anak teman yang lain itu masuk ke Unindra saja—yang dosennya Wira
(suami saya).
Tepatnya,
ia berkata begini, “si_____ nt kuliah di Unindra aja diajar om Wirawan Sukarwo,
he2..”.
Tertegunlah saya. Saya merasa ada yang salah
dengan kalimat sarkas ini. Kesan meremehkan yang keluar bukan cuma untuk Wira,
tetapi juga untuk Unindra. Seolah-olah, Unindra hanya tempat “jelek” bagi
mereka yang tidak pantas kuliah di UI. Saya merasa ada yang salah tentang cara
memaknai si teman ini. Jadi, mari saya ceritakan sedikit.
Wira,
dulu sahabat saya (7 tahun), kini suami saya (1 tahun 5 bulan), memang sekarang
menjadi dosen di Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA). Teman-teman Wira yang
kenal baik pasti tahu kalau passion
Wira memang mengajar.
Saat
ia memutuskan menjadi dosen, melepas peluang-peluang menjadi PNS—seperti keinginan
orangtuanya, saya mendukung saat itu juga. Karena saya tahu, inilah passion Wira. Bagi saya, tidak ada yang
lebih baik, selain bekerja dalam bidang yang dicintai. Kebetulan pula, saya
pembenci orang-orang oportunis, dan berdoa setiap malam semoga saya dan suami
tidak terjebak dalam dunia kerja yang penuh orang-orang itu. Alhamdulillah,
sepertinya Allah mendengar doa saya. Menjadi editor adalah dunia yang memang
saya nikmati, dan menjadi dosen adalah dunia yang benar dirindu oleh Wira.
Setiap
pulang bekerja, saya dan Wira selalu mengulang apa yang terjadi hari itu di
tempat kerja masing-masing. Dan, mengalirlah banyak cerita tentang Unindra.
Unindra
memang didirikan oleh yayasan PGRI dan bertujuan mencetak guru-guru yang santun
dan berpendidikan, begitulah kira-kira visi mereka. Tidak ada yang lebih mulia,
bukan?
Tentu
saja, Unindra tidak se-elite UI (saya dan Wira adalah alumni UI), tetapi
(lagi-lagi) menurut saya, tidaklah patut membuatnya seolah-olah jauh lebih
tidak berkelas dibandingkan UI.
Setiap
malam, Wira akan menceritakan karakter mahasiswa-mahasiswanya. Tentu saja,
tidak bisa dibandingkan “penguasaan akan pengetahuan umum” mahasiswa-mahasiswa
Unindra dengan teman-teman yang dulu bareng kuliah di UI. Namun, mata mereka
tampak selalu haus akan ilmu, begitu kata Wira, yang matanya pun tampak
bersinar saat bercerita. Setiap bertemu di mushola atau kantin,
mahasiswa-mahasiwa ini akan mencium tangan Wira. Seolah mesin waktu berputar
dan kita kembali ke zaman SD, saat kita sangat hormat pada guru yang mengajar.
Rasa respek, haus akan ilmu, dan semangat untuk mengubah nasib, itulah yang
selalu menyemangati Wira setiap akan mengajar.
Saya
pun selalu senang mendengar kisah-kisah di kelas Wira. Kadang ikut bersimpati,
misalnya saat tahu beberapa mahasiswa harus berkejar-kejaran membagi waktu
antara kuliah dengan bekerja. Rata-rata, mahasiswa Unindra adalah pegawai
Giant, Indomaret, Alfamart, dan sejenis. Hidup yang tak berpihak, tak membuat
mereka menyerah untuk mengubah nasib.
Tidak
seperti di UI yang bebas menggunakan apa saja saat kuliah (dulu saya bahkan
mengenakan kaus oblong, jeans, dan sandal jepit ke kelas)—di Unindra
mahasiswanya harus memakai kemeja dan bersepatu. Mereka nantinya akan jadi
guru, yang digugu dan ditiru, jadi sejak dinilah harus
ditanamkan akhlak-akhlak yang baik, begitu kira-kira yang sempat diceritakan
Wira tentang alasannya.
Uang
kuliah di Unindra memang terbilang murah (bagi mereka yang mampu). Per semester
para mahasiswa ini ditarik bayaran Rp600 ribu. Bandingkan dengan UI, yang per
semesternya saja sudah berapa juta. Mungkin pula alasan ini yang membuat si
teman terkesan “meremehkan” Unindra. Padahal, bagi mahasiswa-mahasiswanya, uang
600 ribu itu pun terkadang sulit. Tak jarang, saat akan ujian, Wira dan
beberapa teman dosennya berembuk mengumpulkan dana untuk mahasiswa yang tak
bisa ikut ujian karena tak mampu membayar SPP. Hal yang (hampir) tak pernah
terjadi di UI.
Kualitas
Unindra juga (menurut saya) tidaklah seburuk dugaan si teman (sehingga sangat
takut anaknya kuliah di sana). Wira kebetulan mengajar di program studi Desain
Komunikasi Visual. Teman-teman dosennya yang mengajar, rata-rata adalah jebolan
dari IKJ atau desain komunikasi visual Trisakti, tentu saja yang sangat
kompeten di bidangnya. Salah satunya, Winni Gunarti (silakan searching di google)
adalah penulis beberapa buku dan sering ikut seminar baik tingkat nasional
maupun internasional. Wira sendiri menyelesaikan S1 dan S2 di UI. Jadi, menurut
saya tidak ada alasan mereka tidak mengajar dengan baik.
Mahasiswa-mahasiwanya
pun banyak yang berbakat. Bahkan, seorang mahasiswa menarik perhatian saya
karena ilustrasi yang ia buat menyamai ilustrasi yang dibuat illustrator unggul.
Ia berada di tempat yang tepat, bukan?
Jadi,
jika memang tidak (mampu) lulus UI, apa salahnya kuliah di Unindra?
Ah,
mungkin memang masing-masing orang berbeda memaknai segala sesuatu. Abaikan saja,
jika Anda tidak setuju dengan apa yang saya sampaikan. Saya hanya sekadar
bercerita. Tentang tempat orang-orang merajut mimpi yang akhir-akhir ini lekat
dalam hidup saya sehingga ikut terluka saat ada yang meremehkannya, meski
mungkin hanya bercanda.
Langganan:
Postingan (Atom)