Selasa, 24 April 2012

selamat pagi, pejalan

waktu bertebaran dan berputar tanpa terasa, ya. pagi kita seolah menjelma dalam putaran rotasi yang tak sempat kita tunggu lagi. namun, perjalanan semakin menyenangkan, bukan?

mungkin, berkali-kali aku tak sempat mengucap terima kasih. untuk ajakan bangunmu di kala subuh sementara kantuk masih menyekapku dalam kenyamanan. untuk segelas air yang kau sodorkan saat aku terlalu malas beranjak dari depan TV. untuk selalu percaya menaruh mimpi-mimpi dalam tanganku, dan membantunya menjelmakan. aku sering lupa, untuk mengucapkan terima kasih.

selamat pagi, pejalan
hari ini, mari berhenti sejenak. mari mengingat tentang berkat yang lupa kita semat.

selamat pagi, pejalan
mimpi-mimpi yang kau bantu jelmakan nanti tentu saja adalah inginku agar selalu berjalan bersisian denganmu. maka, jangan sekali-kali lepaskan tanganmu. berjanjilah. untuk terus berada dalam subuh-subuhku yang nyenyak. untuk terus menghangatkan ruang dalam cerita yang semakin hari semakin menyempurna.

selamat pagi, pejalan
selamat pagi, kekasih hati
selamat pagi, suamiku

kau dan aku akan menua, tentu saja
dan semoga selalu bersama bahagia :)

for: 25 April 2012

I owe the picture from here


Sabtu, 21 April 2012

 
Seorang muslim adalah saudara orang muslim yang lainnya, tidak boleh menzaliminya, tidak boleh menghinanya, dan tidak juga meremehkannya… cukuplah seseorang telah berbuat kejahatan jika ia meremehkan saudaranya yang muslim,” [HR MUSLIM]

Tentang bagaimana memaknai, memang bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Seolah sebuah karya sastra yang multiinterpretasi, hidup pun sedemikian rupa. Mungkin, suatu senja bagi seseorang begitu indah dan membuat bahagia, siapa yang tahu kalau orang yang lain diam-diam merutukinya.

Begitupula dengan sebuah profesi. Bisa jadi, bagi seseorang profesinya ia anggap menyenangkan dan berguna, tidak ternyata untuk seorang yang lain. Bisa jadi, si orang lain ternyata menganggap rendah profesinya itu.

Tentang bagaimana memaknai, itulah yang bisa saya tangkap sore ini saat saya tak sengaja membaca komen di Facebook seorang teman.

Si teman—sebut saja begitu—memposting sebuah foto sambil berharap suatu saat anaknya bisa kuliah di FK UI (foto yang diposting). Doa yang baik ini tentu saja bersambut amin dari beberapa temannya. Salah satu komen malah berdoa semoga anaknya pula masuk kampus yang sama. Sayangnya, si teman malah menjawab, kalau si anak teman yang lain itu masuk ke Unindra saja—yang dosennya Wira (suami saya).

Tepatnya, ia berkata begini, “si_____ nt kuliah di Unindra aja diajar om Wirawan Sukarwo, he2..”.

 Tertegunlah saya. Saya merasa ada yang salah dengan kalimat sarkas ini. Kesan meremehkan yang keluar bukan cuma untuk Wira, tetapi juga untuk Unindra. Seolah-olah, Unindra hanya tempat “jelek” bagi mereka yang tidak pantas kuliah di UI. Saya merasa ada yang salah tentang cara memaknai si teman ini. Jadi, mari saya ceritakan sedikit.

Wira, dulu sahabat saya (7 tahun), kini suami saya (1 tahun 5 bulan), memang sekarang menjadi dosen di Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA). Teman-teman Wira yang kenal baik pasti tahu kalau passion Wira memang mengajar.

Saat ia memutuskan menjadi dosen, melepas peluang-peluang menjadi PNS—seperti keinginan orangtuanya, saya mendukung saat itu juga. Karena saya tahu, inilah passion Wira. Bagi saya, tidak ada yang lebih baik, selain bekerja dalam bidang yang dicintai. Kebetulan pula, saya pembenci orang-orang oportunis, dan berdoa setiap malam semoga saya dan suami tidak terjebak dalam dunia kerja yang penuh orang-orang itu. Alhamdulillah, sepertinya Allah mendengar doa saya. Menjadi editor adalah dunia yang memang saya nikmati, dan menjadi dosen adalah dunia yang benar dirindu oleh Wira.

Setiap pulang bekerja, saya dan Wira selalu mengulang apa yang terjadi hari itu di tempat kerja masing-masing. Dan, mengalirlah banyak cerita tentang Unindra.
Unindra memang didirikan oleh yayasan PGRI dan bertujuan mencetak guru-guru yang santun dan berpendidikan, begitulah kira-kira visi mereka. Tidak ada yang lebih mulia, bukan?
Tentu saja, Unindra tidak se-elite UI (saya dan Wira adalah alumni UI), tetapi (lagi-lagi) menurut saya, tidaklah patut membuatnya seolah-olah jauh lebih tidak berkelas dibandingkan UI.

Setiap malam, Wira akan menceritakan karakter mahasiswa-mahasiswanya. Tentu saja, tidak bisa dibandingkan “penguasaan akan pengetahuan umum” mahasiswa-mahasiswa Unindra dengan teman-teman yang dulu bareng kuliah di UI. Namun, mata mereka tampak selalu haus akan ilmu, begitu kata Wira, yang matanya pun tampak bersinar saat bercerita. Setiap bertemu di mushola atau kantin, mahasiswa-mahasiwa ini akan mencium tangan Wira. Seolah mesin waktu berputar dan kita kembali ke zaman SD, saat kita sangat hormat pada guru yang mengajar. Rasa respek, haus akan ilmu, dan semangat untuk mengubah nasib, itulah yang selalu menyemangati Wira setiap akan mengajar.

Saya pun selalu senang mendengar kisah-kisah di kelas Wira. Kadang ikut bersimpati, misalnya saat tahu beberapa mahasiswa harus berkejar-kejaran membagi waktu antara kuliah dengan bekerja. Rata-rata, mahasiswa Unindra adalah pegawai Giant, Indomaret, Alfamart, dan sejenis. Hidup yang tak berpihak, tak membuat mereka menyerah untuk mengubah nasib.
Tidak seperti di UI yang bebas menggunakan apa saja saat kuliah (dulu saya bahkan mengenakan kaus oblong, jeans, dan sandal jepit ke kelas)—di Unindra mahasiswanya harus memakai kemeja dan bersepatu. Mereka nantinya akan jadi guru, yang digugu dan ditiru, jadi sejak dinilah harus ditanamkan akhlak-akhlak yang baik, begitu kira-kira yang sempat diceritakan Wira tentang alasannya.

Uang kuliah di Unindra memang terbilang murah (bagi mereka yang mampu). Per semester para mahasiswa ini ditarik bayaran Rp600 ribu. Bandingkan dengan UI, yang per semesternya saja sudah berapa juta. Mungkin pula alasan ini yang membuat si teman terkesan “meremehkan” Unindra. Padahal, bagi mahasiswa-mahasiswanya, uang 600 ribu itu pun terkadang sulit. Tak jarang, saat akan ujian, Wira dan beberapa teman dosennya berembuk mengumpulkan dana untuk mahasiswa yang tak bisa ikut ujian karena tak mampu membayar SPP. Hal yang (hampir) tak pernah terjadi di UI.

Kualitas Unindra juga (menurut saya) tidaklah seburuk dugaan si teman (sehingga sangat takut anaknya kuliah di sana). Wira kebetulan mengajar di program studi Desain Komunikasi Visual. Teman-teman dosennya yang mengajar, rata-rata adalah jebolan dari IKJ atau desain komunikasi visual Trisakti, tentu saja yang sangat kompeten di bidangnya. Salah satunya, Winni Gunarti (silakan searching di google) adalah penulis beberapa buku dan sering ikut seminar baik tingkat nasional maupun internasional. Wira sendiri menyelesaikan S1 dan S2 di UI. Jadi, menurut saya tidak ada alasan mereka tidak mengajar dengan baik.
Mahasiswa-mahasiwanya pun banyak yang berbakat. Bahkan, seorang mahasiswa menarik perhatian saya karena ilustrasi yang ia buat menyamai ilustrasi yang dibuat illustrator unggul. Ia berada di tempat yang tepat, bukan?

Jadi, jika memang tidak (mampu) lulus UI, apa salahnya kuliah di Unindra?

Ah, mungkin memang masing-masing orang berbeda memaknai segala sesuatu. Abaikan saja, jika Anda tidak setuju dengan apa yang saya sampaikan. Saya hanya sekadar bercerita. Tentang tempat orang-orang merajut mimpi yang akhir-akhir ini lekat dalam hidup saya sehingga ikut terluka saat ada yang meremehkannya, meski mungkin hanya bercanda.