Jumat, 04 November 2011

Nyala Matahari



kami beri namamu nyala matahari, nak--
agar kau tak hanya peduli dirimu sendiri--
tapi tumbuh menjadi manfaat untuk sekitarmu--

kami beri namamu nyala matahari, nak--
karena seperti itulah kami ingin kau nantinya--
tak takut menantang dunia, tapi tak juga membuat orang lain kalut--
tidak, kami tak ingin kau membakar--
doa kami, kau menjadi nyala, semangat, cahaya, yang selalu meneduhkan--

bertualanglah, nak, nantinya--
torehkan banyak cerita--
beri nyala tempat-tempat gelap--
dan selalulah kembali menjadi matahari--

ya, ke mana pun nanti kau pergi--
selalulah menjadi nyala matahari kami

Rabu, 30 Maret 2011

SAMAKAN RASA


Aku sudah memahami bahwa menikah adalah menyatukan dua keluarga, bukan hanya dua orang. Namun, aku baru memahami kalau menikah itu juga artinya menyatukan dua lidah. Bukan, ini bukan hal tentang percumbuan, tetapi ini benar tentang selera makanan.

Akhirnya, setelah 6 bulan menikah, aku dan istriku bisa menyamakan selera makanan kami. Luar biasa, karena sekarang aku menjadi orang yang sangat menggemari masakan istriku sendiri. Selama ini, kami selalu menyelesaikan masalah selera itu dengan membeli makanan di luar. Efeknya jelas sangat terasa pada pengeluaran yang tidak sedikit. Kami sulit berbagi makanan karena punya lidah yang berbeda selera. Gita yang Sumatra terbiasa dengan rasa pedas, asin, dan kering. Aku yang Jawa terbiasa dengan rasa manis dan kuah basah.

Namun, ternyata Gita bisa memasak berbagai menu yang ia suka. Sampai hari ini, ada beberapa menu kesukaannya yang sudah beberapa kali diulang dan ternyata dapat pula aku nikmati. Pertama, ia suka sekali sambal goreng udang. Kedua, ia juga suka memasak teri sambal hijau. Masakan yang satu ini juga sering dibuat oleh ibuku, tapi dengan cita rasa yang berbeda. Rasa masakan istriku sedikit lebih gurih dan pedas dibandingkan masakan ibu. Ketiga, Gita senang membuat terong goreng tepung. Menu yang satu ini meski tidak terlalu istimewa, selalu menambah selera makan ketika dihidangkan bersama sambal tomat yang diracik tidak terlalu pedas. Menu keempat, menu favorit kami, tumis kangkung atau cah kangkung. Menu berikutnya adalah sayur asam. Nah, kalau yang satu ini lidahku tidak terlalu senang. Gita suka sayur asam dengan gaya betawi yang asam dan sedikit gula. Sedangkan aku terbiasa makan sayur asam dengan rasa agak manis. Jadi, kalau ia memasak sayur asam, sudah pasti ia makan sendiri.

Buku resep masakan untuk ibu hamil dan lain-lain sering kami buka-buka. Terkadang, niat untuk membuat salah satu atau beberapa menu dalam buku tersebut begitu kuat. Namun, biasanya ketika sampai di supermarket atau tukang sayur, pilihan bahan baku makanannya akan kembali ke paragraf sebelumya. Benar kata iklan mie instan, lidah memang tidak bisa berbohong. [wiRa]

we owe the picture from here

NGUPATI

Hari Kamis, 10 Februari yang lalu, aku dan Gita pergi ke RS.Hermina untuk periksa kehamilan rutin. Kunjungan itu merupakan kunjungan yang keempat kalinya. Artinya, umur janin dalam kandungan Gita sudah 4 bulan. Syukur alhamdulillah, sejauh ini semua tampak sehat-sehat saja.
Ada sebuah tradisi dalam budaya Jawa dalam menyambut usia kehamilan 4 bulan. Tradisi itu disebut "ngupati" yang berasal dari kata ketupat. Ketupat berbentuk segi empat yang diasosiasikan sebagai umur janin dalam kandungan yang sudah 4 bulan. Secara teknis, ngupati berarti membuat ketupat serta lauk-pauknya untuk dihidangkan atau dibagikan kepada tetangga dan kerabat di sekitar rumah.

Untuk itulah, hari Jumat tanggal 11 Februari, aku dan gita pergi ke Jatilawang untuk melaksanakan tradisi tersebut. Pada awalnya, kami berencana pergi sekeluarga menggunakan mobil seperti halya ritual mudik lebaran. Namun, ibuku ternyata memiliki agenda yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga rencananya berubah total. Aku pergi bersama gita dan adik iparku Ice yang masih kuliah di Bandung. Kami pergi bertiga menggunakan kereta api kelas bisnis dari stasiun Jatinegara. Perjalanan yang cukup berkesan mengingat aku sudah cukup lama tidak bepergian dengan kereta api ke luar kota.
Sesampainya di Jatilawang, kami betul-betul beristirahat. Pikiran dan hati rasanya sangat tenang. Pergi ke kampung pada momen selain lebaran betul-betul memberikan efek relaksasi yang dahsyat. Sajian teh tawar hangat dengan kudapan seperti pisang rebus, kacang rebus, dan mendoan merupakan makanan terlezat di saat-saat seperti itu. Acara ngupati yang direncanakan baru akan dilaksanakan keesokan harinya. Hari itu, kami bercengkrama dengan nenek dan keluargaku yang tinggal di sana.

90% acara ngupati dilakukan di dapur. Artinya, memasak ketupat dan lauk-pauk adalah keseluruhan teknis acara ngupati. Karena itu, aku dan gita tidak perlu harus ikut campur mengingat sumber daya manusia yang ada di kampung lebih dari cukup. Mereka sangat antusias dan gesit membuat bungkusan ketupat. Tidak terasa, tiba-tiba semua ketupat sudah habis dibagikan. Nenekku menyisakan sedikit di meja makan untuk hidangan makan malam.

Jika kita merujuk kepada sunah atau hadis, maka tidak akan ada satu dalil pun yang membahas tradisi ngupati. Namun, bagi saya, ini hanyalah amalan sedekah yang biasa saja dan tidak menggunakan ritual tersendiri. Yang dilakukan hanyalah memasak ketupat beserta sayurnya kemudian langsung dibagikan. Tidak ada pensyaratan yang macam-macam seperti jumlah ketupat yang dibuat, jenis lauk yang boleh dimasak dan sebagainya. Karena itulah, kami menjalankan tradisi ini dengan keyakinan bahwa tidak ada masalah akidah yang disengketakan kali ini.

Keterbatasan alat transportasi di Jatilawang membuat kami tidak bisa bepergian ke tempat-tempat menarik di sekitar sana. Bisa dikatakan, selama 3 hari kami hanya di rumah dan sesekali jalan-jalan ke sawah dan sungai terdekat. Untunglah, kami membawa kamera DSLR yang masih dicicil untuk memaksimalkan kesenangan. Di Jatilawang juga ada sepupu-sepupuku, Fadil dan Ami yang sedang beranjak "gede". Mereka sopan dan menyenangkan untuk diakrabi.
Hari senin pagi kami bersiap-siap pulang kembali ke Jakarta. Ikut bersama kami dalam kereta adalah mbah Jatun dengan Lik Agus anaknya. Alhamdulilah, kami tiba dengan selamat pada sore hari dengan oleh-oleh rasa lelah.

Rabu, 26 Januari 2011

masa-masa menakjubkan :P



sebenarnya, sudah lama pengen menulis blog ini lagi, tapi... hormon-hormon membuat saya cepat lelah (alaah) dan akhirnya terus-menerus membatalkan niat menulis.

minggu ini sudah masuk minggu ke 15 usianya. ah, perasan saya tak keruan setiap membaca artikel perkembangan janin per minggunya. subhanallah. Dalam fase-fase perjalanan yang sudah saya lewati, kali ini adalah fase yang benar-benar menakjubkan dan memabukkan (hehe).
Sebagai pengidap maag, lambung saya sangat sensitif. Itu membuat mual dan muntah menjadi sangat seru. Kalau mereka bilang morning sick, kalau saya all day sick. Hebat sekali. Yang menghibur, saat seorang teman bilang, mual-mual itu justru menunjukkan kalau si janin sangat sehat makanya hormonnya bekerja. Saya hanya tersenyum senang dan mengaminkan dalam hati.
Belum ditambah mood yang turun naik. Yah, korbannya siapa lagi kalau bukan sahabat dan teman seperjalanan saya. Wira berkali-kali harus kena imbas kebeteaan saya, bahkan saya sering menangis tanpa jelas alasannya. Saat menangis, dalam hati saya juga mikir, kenapa sih saya nangis, tetapi ada sesuatu di luar kontrol saya (alaah) yang seolah menyuruh saya menangis sepuas-puasnya. Hehe.
Ah, benar-benar luar biasa. Dan ini belum setengah perjalanan, Bung!

Minggu ini 15 minggu usianya, saat minggu ke 13, beratnya baru 7 gram. Dengan panjang 7 cm dan panjang kepala 2 cm, kecil sekali kamu, Sayang. Betapa Allah bekerja dengan sangat menakjubkan, menciptakan kehidupan dalam kehidupan.
Minggu depan, rohnya akan ditiup. Saya pun tiap hari tak bosan melangitkan doa. Semoga roh yang Allah pilihkan untuk dititipkan akan menjadi anak yang menyenangkan untuk teman dan keluarganya, selalu bisa bersyukur, rendah hati, dan penuh kasih sayang. Ia juga harus ceria dan pemberani menghadapi petualangan-petualangannya nanti. Amin.

Oh iya, selalu sehatkan dia Ya Allah. selalu sehat :)

Ah, rasanya tak sabar ketemu kamu, Sayang. :*

[gita]

we owe this picture from here

Akhir Trisemester Awal

Kehamilan gita sudah masuk bulan kedua menuju akhir trimester awal. Semua gejala orang hamil yang biasanya ada di artikel muncul pada kehamilan istriku ini. Kasihan, mulai dari mual sepanjang hari, stress, bad mood, cepat lelah, sampai sesak napas semua ia alami. Yang paling parah adalah mual yang tidak hanya datang pada pagi hari tetapi kadang bisa sepanjang hari. Efeknya jelas tidak baik untuk kesehatan gita. Ia jadi susah makan dan akhirnya berat badannya turun menjadi 43 kg dari sebelumnya 44 kg. Sebagai catatan, batas berat badan yang aman bagi ibu hamil adalah 40 kg.

Namun, ada pemandangan yang luar biasa ketika kami memeriksakan kehamilan gita kemarin di RS. Di dalam screen sudah tampak kepala janin dan tubuhnya. Pemandangan via USG itu benar-benar membuatku takjub akan makna penciptaan yang sesungguhnya. Subhanallah, sebentar lagi sosok itu akan memiliki ruh dan setelah itu ia akan mampu berinteraksi dengan kami.(wiRa)

Selasa, 25 Januari 2011

Selamat Jalan Ninja

Motor itu tidak kuberi nama seperti halnya orang-orang yang memberi nama benda-benda kesayangan mereka. Tapi, aku sungguh-sungguh menyayanginya. Bagaimana tidak, motor itu sudah menemani perjalanan hidupku selama ini. Kami jatuh bangun bersama di jalan. Dia yang mengantarkanku tiap hari ke kampus. Sampai akhirnya aku sarjana, dan kemudian lanjut ke jenjang master. Tidak hanya kegiatan perkuliahan saja, melainkan semua aktifitas kulakukan bersama motor itu. Pernah seorang temanku di kampus berujar bahwa seandainya motor itu ikut dihisab di yaumul akhir, maka ia akan masuk surga terlebih dahulu. Hehe, ia berujar seperti itu karena tahu persis motor itu wara-wiri di setiap kepanitian Lembaga Dakwah di kampus kami. Dipinjam oleh setiap orang yang membutuhkan. Mulai dari mengantarkan ustadz sampai mengangkut bambu untuk sebuah acara.

Aku juga tidak pernah lepas dari motor itu. Setiap hari aku pasti jalan dengan motor itu kemana saja. Bagiku, motor itu sudah seperti kakiku sendiri. Beberapa orang sudah mengidentikan motor itu dengan diriku. Gita misalnya, ia bilang kalau ia sudah sangat mengenal suara motorku kalau datang ke kosannya. Ia bisa membedakan dengan persis mana suara motorku dan mana suara motor yang lain. Hal yang wajar karena sudah sejak lama aku sering mampir ke kosan Gita dan Iwied.

Motorku itu bermerek Kawasaki, tipenya Ninja 150 S. Siapa yang tidak kenal jenis motor yang satu ini. Sampai sekarang, Kawasaki Ninja adalah raja di kelas 150 cc. Motor ini gesit, kencang, sekaligus ringan. Pemilik Kawasaki Ninja biasanya anak-anak muda atau paling tidak pria paruh baya yang hobi dengan motor kencang. Keunggulan Ninja adalah performa mesin yang memang didesain untuk berlari kencang tetapi nyaman digunakan untuk harian. Ninja juga menggunakan radiator sebagai pendingin mesin ditambah teknologi KIPS yang membuat pemakaian bahan bakarnya lebih efisien. Suspensi belakangnya juga menggunakan teknologi Uni-Track yang jauh lebih nyaman dibandingkan Mono-Shock standar pada umumnya. Aku sendiri tidak suka kebut-kebutan di jalan, balapan liar, atau sejenisnya. Aku membeli Ninja karena pengaruh tabloid dan majalah otomotif yang kubaca saat masih SMA dulu. Sebenarnya, dulu aku sangat ingin memiliki Honda NSR 150. Namun, Honda keburu menghentikan produksinya di awal tahun 2000an. Akhirnya, pilihanku jatuh ke Kawasaki Ninja yang memang saat itu menjadi pesaing NSR.

Selanjutnya, ketika aku mulai menata hidupku yang baru dengan Gita Romadhona, Ninja semakin terbengkalai. Motor itu seperti besi tua yang menunggu berkarat kemudian dikilo. Motor itu jarang sekali kupakai. Kegiatan pra nikah dengan segala kerepotannya aku lewati bersama motor yang lain. Akibatnya, lama kelamaan ia terlihat menua dan buluk. Tiba-tiba, suatu hari ada bensin yang menetes keluar dari blok mesin yang kemudian membanjiri lantai teras rumah. Motor itu resmi mogok! Di situlah aku baru sadar, ternyata sudah terlalu lama aku membiarkan motorku itu. Ketika aku ingin membawanya ke bengkel, aku melihat STNK dan ternyata pajaknya sudah telat 3 bulan. Motor itu harus ganti nomor karena pajaknya sudah habis. Ganti nomor berarti ada prosedur cek fisik yang mengharuskan motor itu hadir di Samsat. Aku membawa motor itu ke bengkel untuk sekedar dihidupkan agar bisa kubawa ke Samsat. Ternyata segalanya serba tanggung. Bensin yang keluar dari blok mesin adalah akibat dari sil dan berbagai paking di jeroan mesin yang sudah usang. Jadilah motor itu diinapkan untuk turun mesin. Total biaya yang aku keluarkan di bengkel mencapai 800ribuan. Bahkan, aku masih menyimpan kuitansinya sebagai kenang-kenangan. Niat hanya sekedar ingin menghidupkan, malah jadi turun mesin. Akhirnya, si Ninja bisa hidup seperti sedia kala. Pajaknya pun sudah kuperpajang. Tapi, aku masih urung memakainya karena terlanjur dimanjakan dengan performa dan efisiensi motor bebek Honda Supra X milik ayahku.

Aku tidak menggunakan Ninja untuk aktifitas harian karena banyak faktor. Tiba-tiba Ninja menjadi motor yang tidak efisien dalam segala hal. Pertama, dari konsumsi bahan bakar yang sangat boros. Ninja hanya bisa melahap pertamax sebagai bahan bakarnya. Kata seorang montir di bengkel yang juga memiliki Ninja, borosnya Ninja dalam membakar bensin sudah seperti orang yang kencing. Borosnya pemakaian bahan bakar ini berimbas langsung pada pengeluaran yang tidak sedikit untuk sebuah transportasi. Ongkos membeli bensin Ninja hampir sama dengan ongkos naik angkot. Kedua, dalam hal posisi duduk pengendara. Saat ini aku bukan anak kuliahan yang pulang pergi sendiri dari rumah ke kampus dengan motor sport yang nungging penuh gaya. Saat ini aku selalu berboncengan dengan istriku Gita yang sudah pasti akan sangat tersiksa dengan posisi duduk yang nungging. Posisi duduk seperti itu sungguh tidak nyaman untuk perjalanan jauh. Ditambah lagi Gita sedang hamil muda yang masih sangat rawan. Kalau ada orang yang terlihat enak-enak saja berboncengan dengan motor sport di jalan-jalan, sudah pasti mereka "maksa" untuk terlihat gaya. Ketiga, dalam hal kemampuan angkut barang. Ninja tidak didesain untuk mengangkut barang-barang belanjaan apalagi galon Aqua. Mau ditaruh di mana? Saat ini aku mulai berumah tangga, dan adakalanya kami membawa banyak barang ke sana ke mari. Kadang kami membawa dua kantong besar pakaian kotor untuk di laundry atau di cuci di rumah orangtua. Kegiatan pengangkutan tersebut mustahil dilakukan jika menggunakan Ninja. Belum lagi kalau aku harus menukar tabung gas di toko, sungguh tidak mungkin untuk membawanya. Dan satu lagi, Ninja tidak punya bagasi untuk menyimpan jas hujan atau sekedar perkakas standar. Keempat, tentu saja masalah keamanan. Percayalah, Ninja bukan motor untuk santai-santai di jalan. Kalau sedang mengendarai Ninja, niscaya pasti ingin ngebut. Atau paling tidak kita tidak sadar kalau ternyata kita sedang ngebut. Aku bukan orang yang tidak memiliki tanggungan. Aku punya seorang istri dan calon anak. Aku akan menjadi seorang kepala rumah tangga seutuhnya. Keselamatanku sampai di rumah adalah hal yang mutlak setiap harinya. Intinya, kebut-kebutan dengan sepeda motor adalah sikap yang tidak bertanggung jawab saat ini.

Sekarang motorku itu sudah berada di tangan orang lain. Seseorang yang sepertinya lebih mengerti per-Ninjaan daripada diriku. Aku sadar motor itu hanya benda mati yang tidak punya naluri dan perasaan. Tapi, aku seperti punya kontak batin dengan benda itu. Sepertinya dia memang sudah seharusnya dilepas untuk diperlakukan lebih layak. Orang yang membawa Ninjaku itu adalah juga seorang pecinta motor. Dia sendiri sudah memiliki Kawasaki Ninja tipe KRR di rumahnya. Ia bilang sudah tidak tahan ingin mendandani motorku itu. Tidak seperti aku yang membiarkan motor itu kepanasan dan kehujanan di luar rumah. Aku senang karena kisah ini berakhir bahagia, motor itu akan terus meraung-raung di jalan walau tidak kukendarai. Setidaknya, ia tidak menjadi barang rongsokan. Kata istriku, "ya sudahlah, grow up!". Selamat jalan Ninja, terima kasih sudah menemani perjalananku sejauh ini... (wiRa)

Berita (Kurang) Bahagia



Setelah menerima berita bahagia, ada juga berita yang kurang membahagiakan (saya tidak mau mengatakan buruk). Dua tes PNS yang saya ikuti ternyata hasilnya gagal. Pertama yang di UIN, lamaran untuk dosen Manajemen Keuangan Syariah yang entah kenapa saya bisa lolos tes administrasinya. Kemudian yang kedua untuk Deptan, entah formasi apa. Saya kecewa karena dua kegagalan itu seolah menutup semua kegagalan yang saya alami tahun ini. Mulai dari LIPI dan diakhiri oleh Deptan. Hikmahnya, saya masih bisa bebas mencari pekerjaan yang saya mau sesuai minat dan keterampilan yang saya miliki. Betul kata gita, kami pasti akan baik-baik saja.

Tahun ini dua sepupu saya lulus PNS, keduanya dari keluarga Bapak. Ada slentingan kalau keduanya menggunakan uang suap untuk kelulusan mereka. Wallahu `alam, tetapi slentingan ini terdengar sangat nyaring. Jumlah uang yang dikeluarkan mencapai puluhan juta rupiah. Peluang bagiku untuk melakukan hal yang sama terbuka sangat lebar karena ayahku adalah seorang pejabat di BKN yang memiliki banyak rekanan di instansi lain. Ia mengerti betul bagaimana seseorang bisa diusahakan lulus tes PNS. Namun, ayahku tidak suka dan tidak akan mau mengeluarkan uang sampai puluhan juta rupiah hanya untuk mendapatkan kelulusan PNS bagi anaknya. Aku pun sering berkilah agar ia menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan itu. Uang puluhan juta rupiah itu lebih baik ditabung untuk berangkat haji atau kebutuhan yang lain seperti walimah ita. Status PNS memang sangat seksi di keluarga besar ayahku. Seseorang akan dianggap sangat berhasil apabila bisa menjadi PNS di usia muda. Sebagai catatan, banyak dari saudaraku yang menjadi PNS setelah melewati status PTT atau honorer. Otomatis, usia mereka sudah tidak muda lagi, sedangkan golongan mereka tetap dimulai dari yang rendah.

Drama PNS ini memang harus diakhiri. Setidaknya, paradigma kesuksesan dari PNS itu harus diubah. Aku malu jika pada akhirnya terjebak dalam paradigma keluargaku itu. Saatnya berpikir kreatif, saatnya membangun karakter untuk keluargaku. Demi istri dan makhluk yang ada dalam rahimnya saat ini. Yah, trimester awal yang penuh sensasi.... [wiRa]

we owe this picture from here