Analogi gunung dan kehidupan itu
sudah banyak orang yang membahasnya. Tapi, aku tidak merasa tema ini
basi, meskipun kerap merasa terwakili oleh tulisan orang lain.
Bahkan, aku merasa perjalanan kita belum ada apa-apanya dibandingkan
dengan kisah orang lain. Tuhan mengajarkan kita untuk selalu zuhud
dalam memandang apapun di dunia. Jadi berusahalah untuk tetap rendah
hati pada semua pencapaian hidup yang mungkin tidak bernilai apapun
di mata-Nya.
Adalah jalan-jalan terjal yang
mengakrabkan kita. Tanpa mereka, kita mungkin tidak mengenal sifat
dan mengagumi satu sama lain. Betul, aku memang mulai mengagumimu
kala mendaki. Hari ini, aku tidak menyangka sama sekali, jalan-jalan
terjal itu bermakna simbolis pada hidup kita. Membina rumah tangga
yang ternyata seperti meniti jalan terjal penuh tantangan sekaligus
kegembiraan. Maka ingatlah, apakah kita pernah menangis kala mendaki,
sekalipun tebing yang kita lewati mustahil menerbitkan senyum di
wajah? Tidak! Kita tidak pernah menangis. Sebaliknya, kita selalu
bergembira sambil terus bercanda untuk melupakan dingin yang menusuk
tulang. Jadi kita juga tidak akan pernah menangis kala menjalani
hidup sebagai suami-istri. Aku akan selalu meraih tanganmu untuk
membantumu naik ke undakan berikutnya. Terus begitu, sampai nanti
kita minum cokelat panas bersama-sama di puncaknya.
Tanpa terasa, akhirnya kita
bertransformasi menjadi sosok baru yang beda dari sebelumnya.
Sungguh, aku, kamu, sudah mulai membicarakan gunung-gunung dengan
miris-melankolis, karena tahu persis kita tidak bisa mendakinya lagi
seperti dulu. Bukan karena fisik yang melemah dan menua. Bukan pula
karena waktu luang yang tidak ada. Tapi karena ada Nyala Matahari
yang lebih kita rindukan di rumah dari sekadar sunrise hangat
di puncak gunung. Betul, gadis itulah titik transformasi kita menjadi
kita hari ini. Kita yang selalu hidup di dalam orbitnya. Gadis itulah
yang membuat semua rencana kegiatan harus disusun ulang berdasarkan
pemikiran “nala gimana?”.
Bagiku, kalian berdua hari ini
dan seterusnya adalah orbit kehidupan. Tempat beribadah dan belajar
memaknai hidup. Aku tidak pernah bisa membayangkan jika aku tidak
bersamamu saat ini. Begitu pula dirimu yang selalu gundah saat aku
tidak pulang di malam hari. Perasaan seperti itu harus selalu kita
pelihara. Mungkin aku tidak pernah mengakuinya, tapi aku senang punya
istri yang peresah seperti dirimu. Kau tahu, sesekali pastilah aku
tidak bisa pulang ke rumah tepat waktu. Dulu aku membayangkan bakal
melakoni adegan romantis seperti di film-film. Adegan saat seorang
suami yang pulang larut malam lalu menemui istrinya yang sudah
tertidur pulas. Adegan berikutnya tentu saja sang suami menyelimuti
atau mengecup kening istrinya itu tanpa harus membangunkannya.
Ternyata, kenyataannya tidak linier dengan adegan film. Selarut
apapun aku pulang, kau pasti belum tidur karena khawatir. Dan
belakangan aku menyadari, bahwa hal itu jauh lebih romantis daripada
adegan di film-film. Betul juga, istri macam apa yang bisa tidur
pulas saat suaminya belum sampai di rumah padahal sudah dini hari.
Barakallah fi umrik istriku sayang. Semoga hari-hari
berikutnya Allah selalu menuntun langkah kita. Betapa banyak orang
yang terjatuh di tikungan terakhir, atau dalam bahasa kita di
tanjakan terakhir. Dan semua tanjakan bakal terasa lebih ringan kalau
kau bersamaku, menungguku pulang, dan menyambutku dengan hangat. (wiRa)
Subhanallah...
BalasHapusSuami dunia akhiran ini, mbak.
Beruntungnya dirimu :)
Cukup satu buat selamanya
BalasHapuspostingan yang berkualitas..
BalasHapusvery good
http://obatherbaluntukpenyakitlupus33.wordpress.com/
http://obatherbaluntukpenyakitcampak33.blogspot.com/
http://obatherbaltumorotak011.wordpress.com/
http://obatherbaltetanustradisional33.wordpress.com/
http://obatherbalparu-parubasahmujarab33.blogspot.com/
http://obatherbalkakigajahbengkak33.blogspot.com/
http://obatherbaluntukfaringitis33.blogspot.com/
http://obatherbalasamlambungkronispalingampuh33.wordpress.com/