Selasa, 25 Januari 2011

Selamat Jalan Ninja

Motor itu tidak kuberi nama seperti halnya orang-orang yang memberi nama benda-benda kesayangan mereka. Tapi, aku sungguh-sungguh menyayanginya. Bagaimana tidak, motor itu sudah menemani perjalanan hidupku selama ini. Kami jatuh bangun bersama di jalan. Dia yang mengantarkanku tiap hari ke kampus. Sampai akhirnya aku sarjana, dan kemudian lanjut ke jenjang master. Tidak hanya kegiatan perkuliahan saja, melainkan semua aktifitas kulakukan bersama motor itu. Pernah seorang temanku di kampus berujar bahwa seandainya motor itu ikut dihisab di yaumul akhir, maka ia akan masuk surga terlebih dahulu. Hehe, ia berujar seperti itu karena tahu persis motor itu wara-wiri di setiap kepanitian Lembaga Dakwah di kampus kami. Dipinjam oleh setiap orang yang membutuhkan. Mulai dari mengantarkan ustadz sampai mengangkut bambu untuk sebuah acara.

Aku juga tidak pernah lepas dari motor itu. Setiap hari aku pasti jalan dengan motor itu kemana saja. Bagiku, motor itu sudah seperti kakiku sendiri. Beberapa orang sudah mengidentikan motor itu dengan diriku. Gita misalnya, ia bilang kalau ia sudah sangat mengenal suara motorku kalau datang ke kosannya. Ia bisa membedakan dengan persis mana suara motorku dan mana suara motor yang lain. Hal yang wajar karena sudah sejak lama aku sering mampir ke kosan Gita dan Iwied.

Motorku itu bermerek Kawasaki, tipenya Ninja 150 S. Siapa yang tidak kenal jenis motor yang satu ini. Sampai sekarang, Kawasaki Ninja adalah raja di kelas 150 cc. Motor ini gesit, kencang, sekaligus ringan. Pemilik Kawasaki Ninja biasanya anak-anak muda atau paling tidak pria paruh baya yang hobi dengan motor kencang. Keunggulan Ninja adalah performa mesin yang memang didesain untuk berlari kencang tetapi nyaman digunakan untuk harian. Ninja juga menggunakan radiator sebagai pendingin mesin ditambah teknologi KIPS yang membuat pemakaian bahan bakarnya lebih efisien. Suspensi belakangnya juga menggunakan teknologi Uni-Track yang jauh lebih nyaman dibandingkan Mono-Shock standar pada umumnya. Aku sendiri tidak suka kebut-kebutan di jalan, balapan liar, atau sejenisnya. Aku membeli Ninja karena pengaruh tabloid dan majalah otomotif yang kubaca saat masih SMA dulu. Sebenarnya, dulu aku sangat ingin memiliki Honda NSR 150. Namun, Honda keburu menghentikan produksinya di awal tahun 2000an. Akhirnya, pilihanku jatuh ke Kawasaki Ninja yang memang saat itu menjadi pesaing NSR.

Selanjutnya, ketika aku mulai menata hidupku yang baru dengan Gita Romadhona, Ninja semakin terbengkalai. Motor itu seperti besi tua yang menunggu berkarat kemudian dikilo. Motor itu jarang sekali kupakai. Kegiatan pra nikah dengan segala kerepotannya aku lewati bersama motor yang lain. Akibatnya, lama kelamaan ia terlihat menua dan buluk. Tiba-tiba, suatu hari ada bensin yang menetes keluar dari blok mesin yang kemudian membanjiri lantai teras rumah. Motor itu resmi mogok! Di situlah aku baru sadar, ternyata sudah terlalu lama aku membiarkan motorku itu. Ketika aku ingin membawanya ke bengkel, aku melihat STNK dan ternyata pajaknya sudah telat 3 bulan. Motor itu harus ganti nomor karena pajaknya sudah habis. Ganti nomor berarti ada prosedur cek fisik yang mengharuskan motor itu hadir di Samsat. Aku membawa motor itu ke bengkel untuk sekedar dihidupkan agar bisa kubawa ke Samsat. Ternyata segalanya serba tanggung. Bensin yang keluar dari blok mesin adalah akibat dari sil dan berbagai paking di jeroan mesin yang sudah usang. Jadilah motor itu diinapkan untuk turun mesin. Total biaya yang aku keluarkan di bengkel mencapai 800ribuan. Bahkan, aku masih menyimpan kuitansinya sebagai kenang-kenangan. Niat hanya sekedar ingin menghidupkan, malah jadi turun mesin. Akhirnya, si Ninja bisa hidup seperti sedia kala. Pajaknya pun sudah kuperpajang. Tapi, aku masih urung memakainya karena terlanjur dimanjakan dengan performa dan efisiensi motor bebek Honda Supra X milik ayahku.

Aku tidak menggunakan Ninja untuk aktifitas harian karena banyak faktor. Tiba-tiba Ninja menjadi motor yang tidak efisien dalam segala hal. Pertama, dari konsumsi bahan bakar yang sangat boros. Ninja hanya bisa melahap pertamax sebagai bahan bakarnya. Kata seorang montir di bengkel yang juga memiliki Ninja, borosnya Ninja dalam membakar bensin sudah seperti orang yang kencing. Borosnya pemakaian bahan bakar ini berimbas langsung pada pengeluaran yang tidak sedikit untuk sebuah transportasi. Ongkos membeli bensin Ninja hampir sama dengan ongkos naik angkot. Kedua, dalam hal posisi duduk pengendara. Saat ini aku bukan anak kuliahan yang pulang pergi sendiri dari rumah ke kampus dengan motor sport yang nungging penuh gaya. Saat ini aku selalu berboncengan dengan istriku Gita yang sudah pasti akan sangat tersiksa dengan posisi duduk yang nungging. Posisi duduk seperti itu sungguh tidak nyaman untuk perjalanan jauh. Ditambah lagi Gita sedang hamil muda yang masih sangat rawan. Kalau ada orang yang terlihat enak-enak saja berboncengan dengan motor sport di jalan-jalan, sudah pasti mereka "maksa" untuk terlihat gaya. Ketiga, dalam hal kemampuan angkut barang. Ninja tidak didesain untuk mengangkut barang-barang belanjaan apalagi galon Aqua. Mau ditaruh di mana? Saat ini aku mulai berumah tangga, dan adakalanya kami membawa banyak barang ke sana ke mari. Kadang kami membawa dua kantong besar pakaian kotor untuk di laundry atau di cuci di rumah orangtua. Kegiatan pengangkutan tersebut mustahil dilakukan jika menggunakan Ninja. Belum lagi kalau aku harus menukar tabung gas di toko, sungguh tidak mungkin untuk membawanya. Dan satu lagi, Ninja tidak punya bagasi untuk menyimpan jas hujan atau sekedar perkakas standar. Keempat, tentu saja masalah keamanan. Percayalah, Ninja bukan motor untuk santai-santai di jalan. Kalau sedang mengendarai Ninja, niscaya pasti ingin ngebut. Atau paling tidak kita tidak sadar kalau ternyata kita sedang ngebut. Aku bukan orang yang tidak memiliki tanggungan. Aku punya seorang istri dan calon anak. Aku akan menjadi seorang kepala rumah tangga seutuhnya. Keselamatanku sampai di rumah adalah hal yang mutlak setiap harinya. Intinya, kebut-kebutan dengan sepeda motor adalah sikap yang tidak bertanggung jawab saat ini.

Sekarang motorku itu sudah berada di tangan orang lain. Seseorang yang sepertinya lebih mengerti per-Ninjaan daripada diriku. Aku sadar motor itu hanya benda mati yang tidak punya naluri dan perasaan. Tapi, aku seperti punya kontak batin dengan benda itu. Sepertinya dia memang sudah seharusnya dilepas untuk diperlakukan lebih layak. Orang yang membawa Ninjaku itu adalah juga seorang pecinta motor. Dia sendiri sudah memiliki Kawasaki Ninja tipe KRR di rumahnya. Ia bilang sudah tidak tahan ingin mendandani motorku itu. Tidak seperti aku yang membiarkan motor itu kepanasan dan kehujanan di luar rumah. Aku senang karena kisah ini berakhir bahagia, motor itu akan terus meraung-raung di jalan walau tidak kukendarai. Setidaknya, ia tidak menjadi barang rongsokan. Kata istriku, "ya sudahlah, grow up!". Selamat jalan Ninja, terima kasih sudah menemani perjalananku sejauh ini... (wiRa)

2 komentar: