Selasa, 02 Oktober 2012

Dua Tahun Cerita


Pernah suatu ketika, saat kita sedang berbulan madu, kita di sebuah rumah makan bersama sepasang suami istri paruh-baya yang duduk di bangku sebelah. Saat itu, kita sedang menjadi sepasang pengantin baru, sedangkan pasangan suami-istri yang kita lihat sepertinya sudah menjalani perkawinan selama 15 atau mungkin 20 tahun lebih.
                Saat itu, kita heran dengan pasangan suami-istri itu yang tidak saling berbicara, tidak saling bercanda, seolah tidak saling mengenal. Kalau mereka pasangan selingkuh aku pikir itu tidak mungkin. Bukankah pasangan selingkuh itu biasanya justru sangat intim dan kadang “berlebihan”? Mereka juga tidak tampak sedang bertengkar, karena memang sangat aneh orang bertengkar tapi memilih makan bareng di sebuah rumah makan yang agak mahal.
                Yang tidak pernah kita tahu adalah, bagaimana mereka menjalani kehidupan rumah tangga selama ini. Apakah sudah habis semua tema pembicaraan sampai mereka tidak bisa lagi saling bercerita? Atau mungkin anak-anak mereka yang sudah tidak penting untuk dibicarakan? Sungguh, ternyata tidak kali itu saja kita melihat sepasang suami-istri yang tidak saling berbicara saat mereka jalan berdua. Bahkan , saat mereka bersama dengan anak-anak mereka. Ada apa dengan mereka sebenarnya?
                *Pembahasan ditunda dulu
                Dua tahun terindah dalam hidup sudah aku lewati bersamamu. Dua tahun yang sama sekali tidak membuat kita semakin kehilangan bahan pembicaraan. Justru semakin banyak hal yang harus kita diskusikan. Iya, bercerita adalah suatu hal yang membuat aku dan dirimu betah untuk berkumpul di rumah. Aku tahu rasanya ditinggal tidur saat kau masih ingin bercerita. Aku juga tahu rasanya, saat kau sedang bercerita, tapi aku tidak konsen mendengarkan. Aku tahu semua rasanya. Karena aku juga selalu ingin bercerita dan berbagi cerita denganmu. Saat aku pulang terlalu malam, pastilah cerita itu akan kuberikan di pagi hari di tengah kesibukanmu menyiapkan makanan Nala. Intinya, tidak ada cerita yang tidak aku bagi denganmu.
                Tidak hanya bercerita, tapi juga mengeluh. Benar, mengeluh. Mungkin terdengar negatif, tapi hanya denganmulah aku bisa mengeluhkan banyak hal. Mengeluh mengenai kesehatan. Mengeluh tentang berat badan. Mengeluh tentang beban pekerjaan. Semua itu hanya bisa aku keluhkan di depanmu. Begitu pula kau yang boleh mengeluh kapanpun kau mau. Hati dan jiwaku menerima segala keluh kesah yang mungkin tidak bisa kau tampilkan di depan orang lain. Betapapun kau sangat kuat menjalani hidup, kau bisa mengeluh dan sakit di depanku kapan saja. Dengan itulah kita bisa saling memberi kasih sayang yang sudah kita azzamkan dua tahun yang lalu.
                Kalau boleh menganalisis, mungkin saja pasangan suami-istri yang kita lihat saling tak berbicara itu selama ini memang jarang bercerita. Atau mungkin keluhan mereka selalu tertahan di rongga dada. Orang bilang hal seperti itu akan membuat dadamu terasa sesak. Mungkin saja . .. kita tidak pernah tahu. Hari ini tepat dua tahun pernikahan kita. Doa-doa sudah banyak yang dilangitkan (aku pinjam kontraksi kalimatmu). Kita tidak pernah tahu kapan Allah memanggil kita. Seperti  yang ditulis dalam lirik lagu SO7, “hingga nanti di suatu pagi, salah satu dari kita mati . ..”. Namun, sampai saat itu tiba, aku tidak akan pernah berhenti bercerita dan mengeluh padamu. Bodohlah orang yang menggunakan kalimat “kita berteman saja” untuk memutuskan kekasih mereka. Terima kasih sudah menjadi teman hidup yang sebenar-benarnya untukku. Teman bercerita, teman berjalan, teman di segala situasi. Terima kasih, ibun cantiq. (wiRa)

Kamis, 02 Agustus 2012

barakallah fi umrik ya zaujaty


Malam hari, tanggal 17 Juni, Musdah Mulia berkicau di acara talkshownya Slamet Raharjo di TVRI. Dia bilang, umat Islam perlu melakukan reinterpretasi ayat-ayat yang membuat kedudukan wanita tidak setara dengan kaum lelaki. Saat itu, aku sangat ingin membangunkanmu untuk menonton bersama talkshow feminisme itu. Aku pikir, acara seperti itu asyik ditonton bagi kita yang tidak sependapat dengan para aktivis feminis seperti Musdah Mulia. Tapi, ternyata kau sedang tidur bersama Nala, anak cantik itu. Aku urung membangunkanmu, karena membangunkanmu sama artinya menganggu kenyamanan tidur Nala. Kita tahu persis, Nala tidak bisa tidur nyenyak kalau kau tidak ada di sebelahnya. Terpaksa, aku tonton sendiri diskusi seru itu. Dan tengah malam itu, kau berulang tahun.
Aku minta maaf karena belum bisa memberikanmu nafkah secara benar. Nafkah lahir  yang seharusnya berupa makanan siap santap malah aku konversi dalam bentuk uang belanja. Alih-alih sudah menjadi tradisi di masyarakat kita. Dan akhirnya, kau terbiasa membuatkanku sarapan dan makan malam yang sejatinya sama sekali bukan tanggung jawabmu. Aku minta maaf sekaligus berterima kasih kau mau menerimaku apa adanya. Membuatkanku sarapan dan makan malam yang lezat. Tapi, kau tahu, orang-orang feminis itu mencoba untuk membuatmu keluar dari rumah dan bisa mencari nafkah untuk keluarga atas nama kesetaraan gender. Oh tidak, mereka semakin memojokkanku. Padahal, kau bekerja selama ini bukan untuk dirimu sendiri. Dan kau tidak pernah bekerja atas dasar kesetaraan gender. Kau bekerja untuk mengakselerasi mimpi-mimpimu, dan kali ini kau selaraskan dengan mimpi-mimpiku, mimpi-mimpi kita.
            Sejenak, aku berpikir, sudah sampai mana kita berjalan bersama-sama selama ini? Apakah diskusi kesetaraan gender masih layak kita dengarkan? Sepertinya, aku sudah bersyukur dengan dirimu yang selalu  menerimaku sebagai pemimpin rumah tangga. Sebagai suami yang memiliki kewajiban ini-itu untuk istri dan anaknya. Aku tidak pernah takut dengan banyaknya buku yang kau baca, karena kau selalu bisa mengelaborasinya dalam koridor akhlak seorang muslimah. Aku tahu kau selalu ingin lebih baik lagi, dan kau harus tahu kita tidak perlu saling menunggu untuk hal itu.
            Aku yang masih mencari-cari bentuk suami ideal, tentu saja gerah dengan diskusi feminis, apapun konteksnya. Jangankan untuk mengekang seorang istri, untuk memberi teladan yang baik saja susahnya bukan main. Justru aku yang selama ini mengambil hikmah dari setiap aktivitasmu dengan Nala. Melihatmu yang begitu menyayangi Nala, membuatku harus mengingat lagi betapa dulu ibuku pasti juga memberi kasih sayang yang sama seperti itu. Semakin aku melihatmu menyayangi Nala, semakin aku menyayangi ibuku. Dan tentu saja, kau sudah lebih dulu mempraktikkan hal itu dengan ibumu. Terima kasih, Gita Romadhona, istriku. Semoga umur kita berkah, tetaplah berusaha menjadi teladan bagi Nala. Tetaplah menjadi temanku membaca ayat-ayat Allah, bukan merekonstruksinya. Amien ya rob..

Selasa, 24 April 2012

selamat pagi, pejalan

waktu bertebaran dan berputar tanpa terasa, ya. pagi kita seolah menjelma dalam putaran rotasi yang tak sempat kita tunggu lagi. namun, perjalanan semakin menyenangkan, bukan?

mungkin, berkali-kali aku tak sempat mengucap terima kasih. untuk ajakan bangunmu di kala subuh sementara kantuk masih menyekapku dalam kenyamanan. untuk segelas air yang kau sodorkan saat aku terlalu malas beranjak dari depan TV. untuk selalu percaya menaruh mimpi-mimpi dalam tanganku, dan membantunya menjelmakan. aku sering lupa, untuk mengucapkan terima kasih.

selamat pagi, pejalan
hari ini, mari berhenti sejenak. mari mengingat tentang berkat yang lupa kita semat.

selamat pagi, pejalan
mimpi-mimpi yang kau bantu jelmakan nanti tentu saja adalah inginku agar selalu berjalan bersisian denganmu. maka, jangan sekali-kali lepaskan tanganmu. berjanjilah. untuk terus berada dalam subuh-subuhku yang nyenyak. untuk terus menghangatkan ruang dalam cerita yang semakin hari semakin menyempurna.

selamat pagi, pejalan
selamat pagi, kekasih hati
selamat pagi, suamiku

kau dan aku akan menua, tentu saja
dan semoga selalu bersama bahagia :)

for: 25 April 2012

I owe the picture from here


Sabtu, 21 April 2012

 
Seorang muslim adalah saudara orang muslim yang lainnya, tidak boleh menzaliminya, tidak boleh menghinanya, dan tidak juga meremehkannya… cukuplah seseorang telah berbuat kejahatan jika ia meremehkan saudaranya yang muslim,” [HR MUSLIM]

Tentang bagaimana memaknai, memang bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Seolah sebuah karya sastra yang multiinterpretasi, hidup pun sedemikian rupa. Mungkin, suatu senja bagi seseorang begitu indah dan membuat bahagia, siapa yang tahu kalau orang yang lain diam-diam merutukinya.

Begitupula dengan sebuah profesi. Bisa jadi, bagi seseorang profesinya ia anggap menyenangkan dan berguna, tidak ternyata untuk seorang yang lain. Bisa jadi, si orang lain ternyata menganggap rendah profesinya itu.

Tentang bagaimana memaknai, itulah yang bisa saya tangkap sore ini saat saya tak sengaja membaca komen di Facebook seorang teman.

Si teman—sebut saja begitu—memposting sebuah foto sambil berharap suatu saat anaknya bisa kuliah di FK UI (foto yang diposting). Doa yang baik ini tentu saja bersambut amin dari beberapa temannya. Salah satu komen malah berdoa semoga anaknya pula masuk kampus yang sama. Sayangnya, si teman malah menjawab, kalau si anak teman yang lain itu masuk ke Unindra saja—yang dosennya Wira (suami saya).

Tepatnya, ia berkata begini, “si_____ nt kuliah di Unindra aja diajar om Wirawan Sukarwo, he2..”.

 Tertegunlah saya. Saya merasa ada yang salah dengan kalimat sarkas ini. Kesan meremehkan yang keluar bukan cuma untuk Wira, tetapi juga untuk Unindra. Seolah-olah, Unindra hanya tempat “jelek” bagi mereka yang tidak pantas kuliah di UI. Saya merasa ada yang salah tentang cara memaknai si teman ini. Jadi, mari saya ceritakan sedikit.

Wira, dulu sahabat saya (7 tahun), kini suami saya (1 tahun 5 bulan), memang sekarang menjadi dosen di Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA). Teman-teman Wira yang kenal baik pasti tahu kalau passion Wira memang mengajar.

Saat ia memutuskan menjadi dosen, melepas peluang-peluang menjadi PNS—seperti keinginan orangtuanya, saya mendukung saat itu juga. Karena saya tahu, inilah passion Wira. Bagi saya, tidak ada yang lebih baik, selain bekerja dalam bidang yang dicintai. Kebetulan pula, saya pembenci orang-orang oportunis, dan berdoa setiap malam semoga saya dan suami tidak terjebak dalam dunia kerja yang penuh orang-orang itu. Alhamdulillah, sepertinya Allah mendengar doa saya. Menjadi editor adalah dunia yang memang saya nikmati, dan menjadi dosen adalah dunia yang benar dirindu oleh Wira.

Setiap pulang bekerja, saya dan Wira selalu mengulang apa yang terjadi hari itu di tempat kerja masing-masing. Dan, mengalirlah banyak cerita tentang Unindra.
Unindra memang didirikan oleh yayasan PGRI dan bertujuan mencetak guru-guru yang santun dan berpendidikan, begitulah kira-kira visi mereka. Tidak ada yang lebih mulia, bukan?
Tentu saja, Unindra tidak se-elite UI (saya dan Wira adalah alumni UI), tetapi (lagi-lagi) menurut saya, tidaklah patut membuatnya seolah-olah jauh lebih tidak berkelas dibandingkan UI.

Setiap malam, Wira akan menceritakan karakter mahasiswa-mahasiswanya. Tentu saja, tidak bisa dibandingkan “penguasaan akan pengetahuan umum” mahasiswa-mahasiswa Unindra dengan teman-teman yang dulu bareng kuliah di UI. Namun, mata mereka tampak selalu haus akan ilmu, begitu kata Wira, yang matanya pun tampak bersinar saat bercerita. Setiap bertemu di mushola atau kantin, mahasiswa-mahasiwa ini akan mencium tangan Wira. Seolah mesin waktu berputar dan kita kembali ke zaman SD, saat kita sangat hormat pada guru yang mengajar. Rasa respek, haus akan ilmu, dan semangat untuk mengubah nasib, itulah yang selalu menyemangati Wira setiap akan mengajar.

Saya pun selalu senang mendengar kisah-kisah di kelas Wira. Kadang ikut bersimpati, misalnya saat tahu beberapa mahasiswa harus berkejar-kejaran membagi waktu antara kuliah dengan bekerja. Rata-rata, mahasiswa Unindra adalah pegawai Giant, Indomaret, Alfamart, dan sejenis. Hidup yang tak berpihak, tak membuat mereka menyerah untuk mengubah nasib.
Tidak seperti di UI yang bebas menggunakan apa saja saat kuliah (dulu saya bahkan mengenakan kaus oblong, jeans, dan sandal jepit ke kelas)—di Unindra mahasiswanya harus memakai kemeja dan bersepatu. Mereka nantinya akan jadi guru, yang digugu dan ditiru, jadi sejak dinilah harus ditanamkan akhlak-akhlak yang baik, begitu kira-kira yang sempat diceritakan Wira tentang alasannya.

Uang kuliah di Unindra memang terbilang murah (bagi mereka yang mampu). Per semester para mahasiswa ini ditarik bayaran Rp600 ribu. Bandingkan dengan UI, yang per semesternya saja sudah berapa juta. Mungkin pula alasan ini yang membuat si teman terkesan “meremehkan” Unindra. Padahal, bagi mahasiswa-mahasiswanya, uang 600 ribu itu pun terkadang sulit. Tak jarang, saat akan ujian, Wira dan beberapa teman dosennya berembuk mengumpulkan dana untuk mahasiswa yang tak bisa ikut ujian karena tak mampu membayar SPP. Hal yang (hampir) tak pernah terjadi di UI.

Kualitas Unindra juga (menurut saya) tidaklah seburuk dugaan si teman (sehingga sangat takut anaknya kuliah di sana). Wira kebetulan mengajar di program studi Desain Komunikasi Visual. Teman-teman dosennya yang mengajar, rata-rata adalah jebolan dari IKJ atau desain komunikasi visual Trisakti, tentu saja yang sangat kompeten di bidangnya. Salah satunya, Winni Gunarti (silakan searching di google) adalah penulis beberapa buku dan sering ikut seminar baik tingkat nasional maupun internasional. Wira sendiri menyelesaikan S1 dan S2 di UI. Jadi, menurut saya tidak ada alasan mereka tidak mengajar dengan baik.
Mahasiswa-mahasiwanya pun banyak yang berbakat. Bahkan, seorang mahasiswa menarik perhatian saya karena ilustrasi yang ia buat menyamai ilustrasi yang dibuat illustrator unggul. Ia berada di tempat yang tepat, bukan?

Jadi, jika memang tidak (mampu) lulus UI, apa salahnya kuliah di Unindra?

Ah, mungkin memang masing-masing orang berbeda memaknai segala sesuatu. Abaikan saja, jika Anda tidak setuju dengan apa yang saya sampaikan. Saya hanya sekadar bercerita. Tentang tempat orang-orang merajut mimpi yang akhir-akhir ini lekat dalam hidup saya sehingga ikut terluka saat ada yang meremehkannya, meski mungkin hanya bercanda.





Rabu, 22 Februari 2012

Nyala Itu Datang Menghangatkan Kami :)

Entah mulai dari mana, tidak terasa sudah 7 bulan sejak kelahiran putri pertama kami, Nyala Matahari. Sejak saat itu, keinginan untuk meng-up date tulisan di blog ini seringkali muncul. Namun, keceriaan bersama Nala (panggilan kami untuk Nyala  Matahari) telah mengalihkan banyak sekali aspek kehidupan yang aku dan gita jalani.

Seharusnya aku menceritakan kronologis peristiwa kelahiran Nala 18 Juli 2011 yang lalu. Tapi siapalah aku ini yang tidak bisa menulis dengan baik. Sudah beberapa paragraf aku ketik-hapus-ketik-hapus untuk menulis peristiwa itu. Entah kenapa, aku tidak bisa menghasilkan tulisan yang bisa mewakili perasaanku saat itu. Yeah, aku memang bukan penulis cerita yang baik. Maksudnya gini loh, yang aku ingat, saat itu setiap detiknya begitu menegangkan, dimulai dari Gita yang masuk ruang bersalin sampai kemudian masuk ruang  pemulihan pasca-operasi. Tapi, setelah beberapa kali mencoba membaca paragaf yang kutulis, tidak ada kesan tegang sama sekali. Huh!! Sudah dicoba berkali-kali tetap tidak bisa. Aku malu kalau harus membangunkan Gita dan meminta bantuan untuk menulis hal macam itu.

Sudahlah, aku pasrah, biar gita saja yang menulis cerita itu. Walaupun aku juga sangat tidak yakin dia bisa menulis lebih baik dariku. Kenapa? Karena berkali-kali gita sering bilang kalau dia lupa rasa sakitnya kontraksi menjelang persalinan. Gita memang tertidur pulas saat operasi caesar dilakukan, tapi percayalah, keputusan operasi itu didahului oleh kontraksi hebat yang tidak kunjung mengahasilkan pembukaan yang cukup untuk melakukan persalinan normal. Rasa sakit yang luar biasa itu membuat janin dalam perutnya menjadi tegang dan stress, yang kemudian dikategorikan sebagai gawat janin. Nah, status gawat janin itulah yang membuat dokter kandungan kami memutuskan untuk operasi. Pada umumnya, operasi Caesar cukup dilakukan dengan bius lokal. Namun, gita terpaksa harus dibius total karena kondisinya memang serba dadakan. Tidak ada yang mengira sama sekali bakal operasi. Loh kok, jadi cerita juga ya? Iya begitulah, pokoknya saat ini gita sering bilang kalau dia sudah tidak ingat lagi bagaimana rasa sakitnya menjelang persalinan. Tapi mungkin juga dia bisa menulis dengan baik karena memang kerjaannya tiap hari berhadapan dengan naskah novel.   

Nala memang menjadi nyala kebahagiaan bagi kami. Kini, setiap bertemu Nala,  segala kegundahan dan kelelahan setelah seharian bekerja, langsung lenyap berganti kebahagiaan hanya dengan melihat cengiran di wajah Nala.  Setiap pulang kerja, disambut Nala di depan pintu dengan ketawa khasnya, HILANG semua capek. Gitulah, kira2.


Sekarang, umur Nala sudah 7 bulan. Tidak terasa waktu berjalan sangat cepat.Nala sudah belajar makan, mengoceh tatatata-yayayayaaah dan tak lama lagi ia akan belajar  berjalan. Ah, betapa menyenangkannya menunggu nyala terus tumbuh menerangi kami. Menyenangkan melihat terus sinar matahari kami :) . (wiRa)