Selasa, 16 November 2010

TEST-PACK

Sudah sekitar satu minggu gita mengatakan padaku kalau ia terlambat datang bulan. Sampai hari ini-pun ia belum juga datang bulan. Namun, gejala-gejala seperti layaknya orang datang bulan tetap ia rasakan. Perasaan yang aneh, tapi juga membuat penasaran. Gita mencari tahu di internet bahwa gejala awal kehamilan bisa jadi memiliki sifat yang sama seperti gejala pra-menstruasi. So, ia sangat bersemangat untuk tetap terlambat tiap harinya. Yang aneh adalah, ia sama sekali tidak merasa mual. Padahal, yang kami tahu semua perempuan mual-mual ketika mulai hamil.

Hari ini gita memakai test-pack untuk menguji apakah dirinya benar-benar hamil atau tidak. Dan hasilnya, dua strip merah pada papan test-pack yang menunjukkan ada hormon apalah itu namanya yang artinya ia hamil. Alhamdulillah... Nanti malam kami akan pergi ke dokter untuk memeriksa kehamilan gita secara medis. Semoga gita benar-benar hamil dan aku akan segera memasuki masa-masa penantian yang panjang. Ya, 9 bulan yang panjang. Apakah anak kami akan seperti Miiko atau Mamoru. Hehe, dua tokoh cerita komik Ono Eriko itu membuatku sering berkhayal tentang keluarga kecil yang hangat seperti dalam cerita mereka.

TIba-tiba aku lupa bagaimana seharusnya bereaksi terhadap berita yang luar biasa ini. Tiba-tiba juga semua tidak seperti yang biasa aku lihat di film-film. yah, memang tidak perlu memakai template dialog yang ada di film-film. Semua rekasi normal dan alamiah. Aku sangat bahagia, meski cuma test-pack seharga 20.000. Semoga Allah tetap bersama kami, amien . . .
(wiRa)

RUTINITAS UNDUH MANTU

Setelah selesai berbulan madu di Jogja, kami diharuskan menetap barang satu-dua minggu di rumahku. Tentu saja hal itu atas permintaan Ibu dan Bapak yang menganggap sudah seharusnya demikian. Alasan mereka sederhana saja. Pertama, mereka belum mengenal gita lebih dekat sebagai anak yang tiap hari berperilaku dan bersikap. Mereka seolah ingin membuktikan bahwa piihanku tidak salah. Hal seperti ini yang menjadikan gita merasa seperti di-inisiasi, padahal tidak demikian. Ini hanya masalah pendekatan agar kedua orangtuaku tidak lagi menganggap gita sebagai tamu di rumah. Kedua, mereka beranggapan bahwa untuk memulai suatu kehidupan baru yang terpisah dari orang tua dibutuhkan persiapan yang tidak sederhana. Yang dimaksud di sini adalah perihal memilih rumah kontrakkan, membeli perabotan dan lain-lain. Itikad baik kedua orangtuaku adalah menjadikan kami bisa menabung dalam rangka persiapan tersebut. Menabung dengan cara makan-minum gratis di rumah, jadi gaji kami utuh, katanya . . . mmm nggak juga sih, nggak sama sekali bahkan.

Aturan pertama di rumahku adalah bangun pagi. Tiap orang diwajibkan bangun pagi paling telat sekitar pukul 05.30. Pokoknya, pada jam-jam tersebut, tiap orang harus sudah memiliki aktivitas fisik yang nyata dan terlihat, misalnya menyapu, bersih-bersih, atau sekedar mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Pada jam-jam tersebut sangat diharamkan untuk tidur dan berleha-leha di kasur. Aturan ini adalah masalah besar untuk istriku gita yang terbiasa tidur lagi setelah solat shubuh. Di hari-hari pertama, ia betul-betul terlihat gak sanggup menjalaninya. Tapi, belakangan ini, ia sudah mulai terbiasa, alhamdulillah.

Aturan kedua adalah sarapan. Setiap orang wajib sarapan sebelum berangkat. Sarapan dengan hidangan yang disediakan. Kalau tidak suka, boleh masak telur dadar atau ceplok, intinya tetap sarapan. Sarapan meski dengan sesendok nasi, asalkan ada bekas piring kotor di tempat cuci piring. Sepintas aturan ini baik-baik saja. Tapi, jika dilakukan tiap hari maka kita akan merasa mual dengan menu yang sangat tidak variatif. Menu template yang dibuat oleh "yayu" (our housekeeper) adalah segala jenis oseng-oseng dengan tempe di dalamnya. Biasanya ditambah dengan lauk tempe mendoan yang tidak asli. Kadang rasa masakannya sama sekali tidak jelas, kurang garam dan lain-lain. Tapi itu semua tetap menjadi menu yang wajib disantap tiap pagi sebelum berangkat. Oh iya, salah satu yang jadi andalan yayu adalah memanaskan lagi sisa sayur yang tidak habis malam sebelumnya, mantappp!!.

Setelah sarapan kami mulai berangkat ke kantor. Nah, karena jarak rumah dan kantor yang cukup jauh, aku harus mengantar gita setiap jam setengah 7 pagi. Padahal, aku biasa berangkat ke kantor jam 9. Hal itu karena jam masuk kantor kami berbeda. Mengantar dengan motor pada jam orang berangkat kerja. Hufftt, sungguh pegal. Biasanya kami hanya menghabiskan waktu 45 menit untuk pulang ke rumah di malam hari. Tapi, pada pagi hari kami harus mengahabiskan waktu satu setengah jam dengan macet di sana-sini.

Minggu, 24 Oktober 2010

Drama Bandara (bagian 2) - habis

Keesokan harinya, aku bangun sekitar pukul 04.15 untuk mandi dan berangkat solat shubuh di masjid. Sepertinya memang ada yang harus diberikan laporan terkait masalahku saat itu. Mencoba curhat sama Allah di pagi hari, gak ada salahnya toh. Kemudian pagi harinya, aku dan Gita memulai rutinitas seperti biasanya. Sarapan dan bersenda gurau bersama keluargaku sebelum berangkat kerja. Rasanya, situasi seperti itu begitu sempurna andaikata aku tidak kehilangan ijazah. Kira-kira seperti itulah perasaanku pagi itu. Menganggap segala sesuatunya akan lebih sempurna dengan kehadiran ijazah-ijazah itu. Dua lembar kertas yang entah kenapa mendadak jadi sangat penting.

Di tempat lain, Aak belum bisa dihubungi. Sehari sebelumnya, ia hanya meminta untuk dibangunkan pagi hari supaya bisa berangkat ke bandara. Ketika gita mencoba menghubungi Aak, aku mencoba menghubungi nomor telepon yang diberikan Iwied malam sebelumnya. Nomor telepon terminal 1 A dan nomor telepon Lions Air. Yang memberikan respon hanya terminal 1 A yang kemudian mengarahkanku untuk pergi ke bandara mengonfirmasi kehilangan di sana. Aku perlu bercerita di sini bahwa maskapai Lions Air sangat mengecewakan untuk urusan keluhan dan informasi penumpang. Customer service mereka tidak merespon dengan baik keluhan dan pertanyaan yang disampaikan. Sehari sebelumnya, ketika kami sedang bingung terkait nasib PapaMama di bandara, mereka juga tidak bisa dihubungi. Yang lebih parah lagi, Gita sempat berbicara dengan petugas CS mereka, tapi kemudian di tengah kebingungan si CS itu, terdengar bisik-bisik dari salah seorang temannya yang menyuruh si CS untuk menutup teleponnya. Dashyat!! Padahal pertanyaan gita sangat-sangat sederhana untuk dijawab seorang CS. Akhirnya, pagi itu kami hanya bisa menghubungi Aak yang memastikan keberangkatannya ke bandara untuk mencari tasku yang hilang.

Kemudian, kami berangkat ke kantor seperti biasa. Di jalan, gita masih mencoba menghiburku dengan obrolan seputar masa depan yang tidak akan kenapa-kenapa tanpa ijazah. Hufftt, pokoknya pagi itu yang aku lakukan hanya mengumpulkan kekuatan ikhlas terhadap apapun hasil yang didapatkan Aak di bandara. Benarlah apabila dikatakan ikhlas itu tahapan tertinggi dari suatu amal. Pastinya, karena ikhlas itu bukan hal yang mudah. Tapi, berkali-kali aku bergumam “aku ikhlas ya Allah”.

Setelah mengantar gita ke kantornya, aku langsung meluncur ke kelapa dua untuk mengambil tanki Kawasaki Ninja yang sudah kupesan hari sebelumnya. Tanki Kawasaki ninja bekas untuk menggantikan tanki Ninjaku yang sering bocor. Motorku yang satu itu juga lagi minta perhatian. Dua hari di bengkel saja sudah menghabiskan 600ribu, kacau! Setelah membeli tanki, aku kekosan untuk menaruh tanki itu di sana. Ternyata di kosan ada Ice yang langsung bertanya seputar ijazah. Hehe, aku hanya tersenyum dan mengatakan ke ice, sekarang aku ini lulusan SMA lho. Miris ya . . . Lalu, aku juga bilang ke Ice untuk tidak memberi tahu PapaMama masalah isi tasku itu. Lalu aku pergi ke kampus untuk membuat legalisasi baru sekaligus mencari-cari tahu apa yang terjadi kalau ijazah hilang. Ternyata benar, ijazah itu hanya satu utnuk tiap lulusan dan tidak bisa dicetak ulang. Setiap yang kehilangan ijazah hanya bisa dibuatkan surat keterangan pernah kuliah semacam itulah dari UI. Beruntung petugas sub-bagian akademik yang sering dipanggil mas Supri bisa menjanjikan legalisasiku selesai satu hari. Padahal, waktu normalnya adalah 2-3 hari kerja. Kami cepat akrab karena memang sudah kenal lama. Hari itu aku bolos kerja untuk kesekian kalinya demi urusan ijazah ini. Kebetulan, transkrip baru versi bahasa Inggris yang sedang kubuat ada kesalahan pada judul skripsinya, jadi semuanya serba sekaligus diurus. Kebetulan, hari itu adalah hari terakhir pendaftaran LIPI secara online yang mewajibkan uploading foto ijazah dan transkrip legalisir. Aku memang sedang berniat masuk LIPI mumpung formasinya ada. Tahun-tahun sebelumnya, sastra arab tidak ada di formasi rekruitmen LIPI, tapi kali ini ada.

Terpisah dari Gita di saat-saat seperti itu “nyesek” rasanya. Tiap sepuluh menit kami saling melaporkan situasi. Aku memberi kabar urusanku di kampus. Gita memberi kabar Aak yang sedang dalam perjalanan, begitu seterusnya. Setelah selesai urusan di kampus, aku kembali kekosan untuk solat Jumat. Kali itu, khotbah ustad di masjid belakang stasiun UI sangat menarik. Intinya aku tidak tertidur seperti jumat-jumat lainnya. Selesai solat jumat, aku membeli ketoprak yang mangkal di depan masjid. Orang-orang yang menghabiskan zikirnya sampai selesai satu persatu juga keluar dari masjid. Salah seorang yang keluar paling belakangan adalah seorang bapak buta yang tampaknya juga seorang pengemis. Aku memerhatikannya sambil menunggu ketoprakku jadi. Betul, dia buta dan tampaknya dia juga pengemis. Tapi, dia ikut zikir sampai selesai dan ketika keluar dari masjid, ia tidak mengemis kepada para jamaah yang masih ada seperti umumnya pengemis. Ia justru melangkah pergi meninggalkan masjid. Jelas, orang ini berbeda kelas dengan kaum dhuafa lain yang sering berkumpul di depan masjid untuk meminta-minta kepada jamaah setelah solat. Masalah mereka ikut solat atau tidak aku tidak tahu. Tapi yang jelas, mereka sudah stand by di luar saat jamaah keluar masjid. Sedangkan, bapak buta ini mengikuti zikir sampai selesai dan tidak meminta-minta setelah keluar masjid. Terbesit pikiranku untuk memberi sedekah pada bapak itu sambil berharap Allah mau melepaskanku dari masalah. Tapi, di situ banyak orang dan aku bingung untuk memberikan sedekah tanpa diperhatikan orang-orang. Apalagi, aku takut si bapak buta ini tidak mau diberikan uang. Untunglah, ada spot gang kecil yang menghubungkan masjid dengan peron stasiun. Semacam lorong gelap begitulah. Di situ tidak ada orang-orang. Dan ketika bapak buta itu sampai di lorong tersebut, aku meraih tangannya sambil memberi sedikit uang. Saat itu aku cuma bilang, ini buat bapak dan ia langsung bilang jazakallah. Iya, aku tidak salah dengar, dia bilang “jazakallah”. Bukankah itu ucapan terima kasih yang paling indah dari dhuafa seperti bapak buta tadi. Atau aku saja yang jarang ngobrol dengan dhuafa di daerah depok.

Ketoprak sudah kuhabiskan. Aku beristirahat sejenak di kosan sambil menunggu kabar dari Aak atau Gita, atau mas Supri. Kira-kira jam setengah 2 siang, mas Supri mengirim sms yang mengatakan bahwa legalisasiku sudah beres dan bisa diambil sore itu juga. Aku sangat senang karena artinya satu masalah beres di hari itu. Aku segera meluncur ke kampus untuk mengambil legalisasi transkrip. Di lain tempat, Aak belum memberi kabar ke Gita, tapi aku sudah mulai tidak memikirkannya. Aku pasrah apapun hasilnya. Agenda berikutnya di hari itu adalah ke KUA untuk mengambil buku nikah kami yang sedang diperbaiki. Nah, dalam perjalanan ke KUA Beji, hapeku bergetar terus di celana. Aku tahu itu pasti gita, tapi aku malas mengangkat karena sedang tanggung di perjalanan yang sudah hampir sampai. Tapi, kok kali ini hape terus2an bergetar yang artinya ada sesuatu yang penting. Lalu aku menepi untuk mengangkat telepon. Benar, ternyata dari istriku, Gita.
Aku : “Assalamualaikum”
Gita : “Wira, tas-nya ketemu tuh, kamu di mana sekarang?”
Aku : “Alhamdulillah . . . aku lagi di jalan mau ke KUA, beneran tas-nya ketemu?
Gita : “Iya bener, kamu telepon Aak gih, tungguin dia di kosan!”
Aku : “oke-oke, sip, ntar aku langsung kekosan, Aak keren banget, git!”
Gita : “yaudah, ati2 ya, kabarin aku . . .
Aku : “iya, *********** (sensor)

Lega rasanya. Setelah dari KUA aku mampir ke AHASS untuk menyetel rem belakang Supra X yang agak blong. Aku ber-sms dengan Aak, ternyata ia masih di tol. Hufft . . jarak yang masih sangat jauh untuk sampai di Depok. Tapi, aku tidak mau kemana-mana. Selesai dari AHASS aku langsung ke kosan menunggu dengan tenang. Ternyata Aak baru tiba jam setengah 6 sore. Ketika sampai, ia membawa tasku yang hilang itu. Aku langsung berterima kasih karena aku bisa memahami bagaimana repotnya ia hari itu. Ditambah lagi, Aak datang dengan keadaan kemeja yang basah keringat, seperti orang yang habis berlari. Kasihan pokoknya. Aak menyuruhku melihat isi tas, apakah sudah lengkap isinya. Ternyata tidak satupun yang hilang dari tasku itu. Sebelum Aak pergi ia menceritakan sedikit drama yang ia alami di bandara. Katanya, ia dipimpong oleh orang-orang bandara. Bertanya ke informasi dilempar ke sekuriti. Bertanya ke sekuriti dilempar lagi ke yang lain. Sampai akhirnya Aak melihat sekuriti yang kemarin sempat menangkapnya karena bolak-balik keluar masuk terminal saat mengantar PapaMama. Pada petugas itu, Aak bertanya perihal tas yang hilang sambil sedikit, mungkin, menyalahkan petugas itu karena akibat penangkapannya itulah Aak kehilangan tas. Lalu, Aak diantarkan ke gudang untuk mengecek barang hilang yang berhasil diamankan petugas. Di situlah, Aak akhirnya menemukan tasku. Kata Aak, di gudang itu penuh dengan barang-barang penumpang yang hilang di bandara. Ada sekardus hp, tas-tas dan lain-lain. Katanya, kalau sampai 3 bulan barang-barang itu tidak diambil, maka semuanya akan di lelang. Seandainya, ijazahku ikut dilelang . . hehe. Aku jadi ingat ketika di perjalanan hari sebelumnya, Aak sempat berkata pada kami untuk pindah ke luar negeri jika ada kesempatan. Menurut dia, Indonesia sudah terlalu kacau untuk dihuni. Hehe, sepertinya, setelah kejadian ini Aak semakin ingin segera ke luar negeri deh . .

Aak langsung pergi ke kampus untuk kuliah. Setelah itu, aku tidak sabar ingin segera menjemput Gita untuk berbagi kebahagiaan hari itu. Pertama, legalisasi transkrip yang sudah diperbaiki selesai. Kedua, tasku ketemu. Sisanya, segala macam urusan motor juga beres. Alhamdulillah . . .

(wiRa)

Senin, 18 Oktober 2010

Drama Bandara ( 1)

Pernahkah Anda kehilangan surat berharga Anda. Mungkin itu adalah pertanyaan sederhana yang mudah dijawab bagi orang yang sudah pernah mengalami atau mungkin malah belum pernah. Hari kamis yang lalu, ketika aku pergi mengantar mertua ke Bandara, aku kehilangan tas yang berisi dua lembar ijazah S1 dan S2. selain itu, ada pula laptop yang isi harddisknya lebih mahal berpuluh-puluh kali lipat dari harga laptopnya.

Cerita singkatnya begini; akupergi mengantar ke Bandara dari Depok sekitar pukul 11.00 WIB, padahal pesawat take off pukul 13.15. Sebenatnya, jika perjalanan lancar-lancar saja, waktu 2 jam itu sangat cukup untuk mencapai Bandara yang memang aksesnya didominasi jalan tol. Namun, Jakarta kota yang kejam. Kami diberi macet padat merayap sejak masuk pintu tol di kawasan Pancoran. Jadilah sepanjang perjalanan kami sudah mulai memikirkan situasi terburuk yaitu, ketinggalan pesawat. Wajah gelisah dari Papa tidak bisa disembunyikan. Mama yang juga sangat ingin segera pulang juga tidak bisa membohongi kami bahwa beliau sangat gelisah. Sisanya adalah gerutu dan gelisah Gita seperti yang sudah aku kenal selama ini. Oh iya ada satu lagi, Aak Gema yang pembawaannya santai saja, bahkan sempat tertidur di perjalanan.

Ternyata kami masih bisa berharap pada keberuntungan dan celah indisipliner airlines domestik. Kami tiba di Bandara jam 1 siang, kemudian Papa Mama langsung meluncur ke dalam untuk check in. Gita dan Aak ditahan diluar karena tidak memiliki tiket, sedangkan aku harus segera pergi karena berada di kawasan drop in/off yang dilarang parker. Saat itu, Papa dan Mama hanya membawa tas yang paling penting, karena kami takut tidak ada waktu untuk memasukan barang ke bagasi. Sisa tas yang banyak dan berat itu aku bawa pergi keluar area untuk memutar kembali. Di tengah perjalanan memutar, gita menelepon dan memberitahu bahwa PapaMama berhasil check in, tidak hanya itu, barang2 sisa yang ada di mobilku juga bisa ditimbang untuk masuk ke bagasi. Jadilah saat itu aku yang harus buru2 kembali untuk menyerahkan sisa tas. Nah, ketika sampai kembali di terminal itulah tasku terbawa. Memang, saat itu, situasinya sangat tegang dan serba panik, Aak dan Papa menggotong apa saja yang tersisa dari bagasi mobil untuk segera dibawa masuk. Aku sama sekali tidak sadar bahwa satu di antara tas yang mereka bawa masuk adalah tas milikku.Saat itu kami masih fokus mengkhawatirkan nasib penerbangan PapaMama, semoga mereka bisa diberangkatkan ke Jambi. Kemudian aku harus memutar lagi karena waktu parkirku sudah habis.

Saat pergi memutar, gita terus mengabari perkembangan terakhir dari PapaMama, ternyata mereka belum masuk ke pesawat. Itu artinya kami belum bisa pulang. Tapi, mereka sudah memegang boarding pass dan berada di ruang tunggu. Sesampainya di terminal lagi, aku tidak mendapatkan perkembangan berarti dari Gita dan Aak. Jadilah aku pergi memutar untuk kesekian kalinya. Kali ini aku berjalan sangat pelan supaya tidak segera harus memutar lagi. Dan ketika tiba di terminal, Gita dan Aak memutuskan untuk naik ke dalam mobil. Mereka menganggap status PapaMama sudah aman, tapi tetap belum tenang karena hape keduanya tidak bisa dihubungi. Kami masih khawatir kalau-kalau PapaMama tertahan di ruang tunggu. Terlebih ketika kami sempat melihat pesawat Lion Air yang mulai bergerak di landasan. Alhamdulillah, tiba2 ada sms dari papa yang mengatakan bahwa mereka sudah ada di dalam pesawat. Huff hati kami semuanya menjadi tenang, lega dan puas. Tiba-tiba kami merasa sangat lapar karena semenjak tadi belum sempat memasukkan apapun ke dalam mulut. Waktu saat itu menunjukkan pukull 13.45. Kami memutuskan untuk makan di daerah Margonda Depok saja karena kami lebih mengenal cita rasa tiap masakan di sana. Ya, makan kali itu kami lakukan seperti sebuah perayaan karena kami telah melewati hari yang sangat menegangkan.

Hari yang penuh drama, kata Gita di rumah makan SS (special sambal). Kami baru masuk Margonda sekitar pukul 4 sore. Perjalanan pulang yang juga sangat macet. Namun, macet saat pulang itu tidak terasa sama sekali. Tentu saja karena kami masih sangat lega PapaMama tidak ketinggalan pesawat. Aku makan dengan sangat lahap, seperti orang yang buka puasa. Sampai detik itu aku sama sekali belum menyadari bahwa tasku tidak ada di mobil.

Setelah makan-makan, Gita minta diantar ke kantor untuk kembali kerja, sedangkan Aak Gema harus mengikuti kuliah malam di UI. Setelah sampai di kantor Gita, tiba2 rasa kantukku tak tertahan lagi, jadilah aku tidur di dalam mobil sampai menjelang maghrib. Saat itu rasanya aku tidur pulas sekali karena perut kenyang dan lelah habis menyetir selama 6 jam non-stop. Ditambah lagi, hawa yang sejuk karena sore hari itu meyisakan gerimis sisa hujan deras siang harinya. Sekitar pukul 18.30 Gita keluar dari kantor, lalu kami bergegas pergi mencari masjid untuk sholat Maghrib.

Sepanjang perjalanan pulang kekosan kami tidak henti-hentinya mengutuk hari ini yang akhirnya bisa kami lewati dengan kemenangan. Setelah itu, kami mampir ke sebuah percetakan dijital di Margonda untuk memindai ijazah dan transkrip yang akan kugunakan untuk melamar CPNS LIPI. Nah, saat aku membuka bagasi mobil, aku tidak menemukan tas hitamku yang dengan sangat sadar aku letakkan di situ saat berangkat. Mulailah aku cemas. Selama beberapa menit kami sempat membongkar-bongkar kusrsi mobil, depan-tengah-belakang, tapi tetap tidak bisa menemukan keberadaan tas tersebut.

Saat itu aku mulai panik, karena sadar bahwa kemungkinan aku telah kehilangan tas yang berisi ijazah S1 dan S2 sekaligus laptop di dalamnya. Astaghfirullah, ternyata hari itu belum berakhir. Aku dan Gita sama-sama sulit berbicara selain mulai menelepon semua orang yang sebelumnya bersama kami. Mulai dari Ice, Gita menanyakan keberadaaan tasku di kosan, ternyata tidak ada. Kemudian Gita mulai menelepon PapaMama yang ternyata sulit mengangkat karena lemahnya sinyal di kota mereka. Sesampainya di kosan, kami masih sibuk menelepon siapa saja untuk mencari tahu keberadaan tas tersebut. Iwied yang saat itu juga baru sampai di kosan tidak tinggal diam untuk ikut membantu kami menelepon banyak nomor. Kami semakin gelisah ketika Gita mendapatkan kabar dari Aak bahwa tas tersebut terlihat oleh Aak saat di bandara tadi. Jadilah kami berharap agar tas tersebut diselamatkan petugas atau paling tidak terbawa oleh PapaMama. Ternyata, Papa yang mulai dapat dihubungi mengatakan bahwa tidak ada tas hitam yang terbawa oleh mereka. Saat itu, kami sepakat tidak memberitahu isi tas tersebut kepada Papa. Kami hanya mengatakan bahwa isi tas tersebut hanya buku2 kuliah yang tidak terlalu penting. Usaha, tidak berhenti disitu, iwied yang dengan rela memberikan teleponnya malam itu yang memang satu2nya hp yang masih memiliki pulsa dan batre menelepon pihak bandara termasuk Lions Air untuk mengkomfirmasi. Pihak Lions air tidak dapat dihubungi. Sedangkan pihak bandara mengatakan bahwa ada tempat pengaduan kehilangan di terminal yang bisa kami mintai tolong. Aak yang mengetahui persis proses kehilangan siang tadi menagtakan akan pergi ke bandara esok pagi. Ia haya minta tolong dibangunkan agar bisa ke bandara pagi-pagi. Kami juga sempat berpikir untuk pergi ke bandara malam itu juga, mumpung kami masih membawa mobil. Namun, staminaku sudah sangat drop malam itu. Berkali-kali aku mengajak Gita untuk segera pulang, karena memang aku sangat lelah. Sudahlah, aku ingin istirahat saja dan bertawakal pada Allah. Dan akhirnya kami pulang dengan bekal beberapa nomor telepon yang sudah dicarikan Iwied.

Alhamdulillah, aku ditemani oleh istriku yang tidak ada duanya. Dia adalah teman yang sempurna di saat-saat seperti itu. Dengannya, entah kenapa aku merasa lebih kuat. Apalagi ketika ia berkali-kali mengatakan bahwa kami tidak akan kenapa-kenapa tanpa kedua ijazah itu. Hatiku hanya gundah ketika memikirkan rasa kecewa orangtua apabila mengetahui bahwa ijazahku telah hilang. Selebihnya, dengan Gita di sisiku, semua terasa baik-baik saja. Kami mampir ke tempat pencucian mobil, gita tertidur di pundakku saat menunggu proses pencucian. Sementara itu, aku memesan segelas kopi untuk menenangkan pikiran. Huff, rasanya itu adalah hari paling tragis yang pernah aku alami. Betul, aku belum pernah merasakan kehilangan seperti yang terjadi saat itu. Aku pernah kehilangan dompet yang berisi segala macam identitas diri termasuk STNK motor. Tapi, kejadian itu tidak ada apa2nya dibandingkan kejadian yang baru saja aku alami. Ternyata benar kata orang2, kita tidak akan merasa memiliki sampai kita kehilangan. Ah, setidaknya aku masih memiliki Gita, dan itu lebih dari cukup.

Sesampainya di rumah, Gita langsung tertidur karena ia sangat lelah. Sebenarnya, sejak sore, Gita memang tidak enak badan, tapi ia terus menahannya agar tidak menjadi masalah baru. Aku kasihan sekali padanya hari ini. Ia kubiarkan beristirahat lebih dulu. Tidak lama, aku menyusulnya untuk beristirahat juga sambil merenungkan dosa apa yang aku perbuat sampai Allah memberi cobaan seperti hari ini. Memang, cobaan ini masih standar2 saja untuk aku lewati dibandingkan cobaan diberi penyakit berat, misalnya. Tapi, kok rasanya sangat beraaaat. Namun, untunglah, ada makhluk menyenangkan di sisiku malam itu. Sosok yang selalu menyayangi, sosok yang selalu memotivasi. [wiRa]

dan, kami pun belajar menyetia

Sabtu, 2 Oktober 2010


Pagi itu, saya bangun pukul 4 dini hari. Saya memulai drama dengan gagal memakai softlens. Hehe, maklum, saya biasa memakai kacamata, jadi agak grogi saat harus memasang softlens. Mencoba berkali-kali, saya tetap gagal memakainya, akhirnya—setelah beberapa kali kecolok tangan sendiri, saya menyerah. Sudahlah, pikir saya, jika nanti tukang rias bisa, biar dia saja yang memakaikan softlensnya.

Ice—adik saya—dan iwied mulai bersiap-siap. Seharusnya, kami sudah sampai di gedung pukul 5 pagi untuk dirias. Papa dan Mama berangkat bersama aak—abang saya—dari tempat mereka di depan Gunadarma. Pukul lima kurang, Apiz—yang bertugas menjemput saya (alahhh), belum tampak. Bolak-balik dengan cemas, saya menelepon. Kenapa juga harus cemas, ya? Wong, saya pemeran utamanya, yang lain kan harus nungguin saya, wkwkwkw.

Pukul 5 teng Apiz datang bersama kekasihnya. Bergegaslah kami berangkat. Di tengah jalan, drama kedua dimulai, saat saya menelepon Mama, terdengar suara lemah di ujung sana. Ya, Mama sakit dan kemungkinan tidak sanggup berangkat ke gedung. What? Hiks. Harus, ya, hari ini ada dramanya, batin saya. Oke, saya mulai panik. Tidak terbayang harus akad tanpa Mama di sana.

Sesampainya di gedung, saya masih sibuk membujuk aak agar dapat membawa Mama ke gedung. Bagaimanapun caranya, saya mau Mama hadir. Terdengar egois sekali, ya? Tapi, pikir, deh, akad kan cuma sekali seumur hidup (InsyaAllah!), masa Mama yang sudah datang dari Jambi sebulan yang lalu, pas hari H tidak bisa menghadiri? Huhuhu, sedihnya.

Sambil dirias, saya terus-menerus menelepon aak, menanyakan kabar Mama. Hingga hampir pukul 6, belum ada kabar bagus. Saya hampir saja menangis. Akhirnya, saat saya menelepon lagi, aak menjawab kalau mereka dalam perjalanan. Alhamdulillah, batin saya lega.

Pukul 6, Mama tiba di ruang rias dengan dipapah beberapa teman panitia. Saya segera menyuruh beberapa tukang rias untuk meriasnya. Tiba-tiba, Mama jatuh dan pingsan. Huhuhu. Semua panik, termasuk saya. Beberapa sesepuh, segera membaringkan Mama dan memberi ruang. Di luar sana, acara seserahan akan segera dimulai.

Tak berapa lama, Mama sadar. Tetapi, perannya di luar sana—menyambut pengantin pria—terpaksa digantikan oleh seorang sepuh keluarga kami. Menatap wajahnya yang lesu, pelan-pelan saya bertanya, apakah Mama kuat mengikuti prosesi akad? Mama mengangguk lemah. Ah, saya langsung mencium dan memeluknya. Mama memang sudah lama mengidap penyakit jantung. Dia tidak boleh capek atau terlalu bersemangat terhadap sesuatu. Jika itu terjadi, dia akan pingsan. Saya tahu, pastilah ia sangat bersemangat menyambut hari ini sehingga melupakan rasa lelahnya. Ya Allah, beri Mama kekuatan, doa saya dalam hati. Doa yang pagi itu saya rapal tak henti-henti. Ya Allah, izinkan Mama ikut menyaksikan fase paling bersejarah dalam hidup saya.

Akhirnya, Mama selesai dirias, kami pun duduk bersama menunggu prosesi ijab qabul. Sampailah saat saya harus meminta izin kepada Mama dan Papa. Tadinya, saya diberi tahu, kalau tidak akan ada acara meminta izin sehingga saya tidak menyiapkan apa pun. Penghulu memberi saya template untuk dibacakan, meliriknya sekilas, saya langsung tidak minat. Bukan, bukan kata-kata di sana yang ingin saya sampaikan kepada Papa dan Mama, biar saya bicara sendiri.

Saat ingin bicara, tiba-tiba ratusan kenangan berkelbat di kepala saya. Saya tatap kedua orangtua di depan saya. Ah, mereka benar-benar mulai menua. Tak terbayang rasanya, tahun demi tahun membawa pergi hari mereka. hari-hari saat setiap waktu kami masih bisa selalu bersama. Hari-hari kecil yang sudah lewat. Mama yang penyayang, tetapi juga gampang emosi. Ya Allah, jagalah dia selalu, sayangilah ia, bisik saya dalam hati. Papa, yang semakin hari terlihat semakin menua, beri dia kesehatan Ya Allah. Masukkan dia dalam golongan hamba-hambaMu yang sabar dan soleh.
Tiba-tiba, tenggorokan saya tercekat hingga lupa apa saja yang telah saya lontarkan. Tiba-tiba, saat itu saya tersadar, saya telah begini besar, betapa mereka sangat menyayangi saya selama ini. Mereka telah menghabiskan hari-harinya untuk menjaga saya. Hingga hari ini, dengan penuh cinta, mereka menemani saya menemukan laki-laki yang kepadanya saya labuhkan cerita.
Ah, jatuhlah air mata saya dan lupalah saya akan kata-kata.



Setelah prosesi meminta izin selesai, Papa kembali ke ruang utama, dan ijab qabul pun dimulai.
Saya tak terlalu jelas mendengar yang terjadi di dalam, tiba-tiba saja, semua mengucap hamdallah? Ha? Ah, iya, saya ternyata sudah sah menjadi istri Wirawan Sukarwo, teman sekaligus sahabat saya.

Ah, betapa singkatnya prosesi ini, tetapi betapa kudusnya ia. Sebuah perjanjian yang mengikat langsung kepada Allah.

Saat berdoa, diam-diam saya meminta lebih banyak kepada Allah pagi itu. Ya Allah, berikanlah saya sabar yang banyak. Engkau tahu, betapa labilnya saya, terutama dalam hal emosi. Ya Allah, bantulah agar saya dapat mematuhinya, suami saya, setelah mematuhiMu tentu saja.

Ya Allah, Engkaulah Maha pembolak-balik hati, saya mohon kepadaMu, Engkau pemilik segalacinta, jagalah cinta kami. Ridhailah perjalanan kami. Semoga doa-doa yang melangit hari ini, Engkau jelmakan dengan penuh cinta. Amin.

[Gita]

Detik Demi Detik


Malam hari sebelum pelaksanaan akad, di rumah saya sudah banyak saudara dan kerabat. Mereka berencana ikut menyaksikan akad keesokan harinya. Kebanyakan dari mereka adalah saudara-saudara dekat dari kampung orangtua saya di Jatilawang, Banyumas. Jumlah mereka kurang lebih 40 orang. Karena jumlah mereka yang terhitung banyak untuk ukuran rumah yang tidak terlalu besar, jadilah kami semua berserakan di lantai dengan karpet sebagai selimut dan sajadah sebagai bantal. Suasananya mirip tempat pengungsian, hehe . Walaupun lakon utama dari perhelatan kali itu adalah saya, tapi demi kenyamanan mereka yang sudah menempati kamar-kamar dengan nyaman, saya ikhlas tidur di lantai bersama yang lain. Rasanya tidak tega membangunkan beberapa saudara yang sudah terlelap tidur di kamar-kamar, termasuk kamar saya. Seolah mereka lupa, sayalah yang membutuhkan tidur nyenyak untuk menghadapi akad esok hari. Hehe, begitulah, sampai akhirnya saya dibangunkan oleh suara alarm BB tepat pukul setengah 4.

Awalnya, semuanya tampak lancar-lancar saja sampai akhirnya saya mendapatkan kabar bahwa mamanya gita tidak bisa menhadiri akad karena jatuh sakit. Saya dengar beliau demam tinggi dan sempat muntah. Tiba-tiba suasana persiapan kami menjadi tegang. Namun, saya berpikir positif untuk mengembalikan semua rukun nikah pada tempatnya. Bahwa ibu dari mempelai wanita bukanlah bagian dari rukun nikah. Jadi, tidak boleh ada masalah selama ayahanda Mawardi bisa hadir untuk pelaksanaan akad. Sisanya saya tidak mau memikirkannya lagi. Syukur alhamdulillah, mama Salma bisa hadir setelah saya dengar seluruh keluarganya memaksa beliau untuk hadir meskipun harus ditandu. Mengkhawatirkan memang, tapi saya berusaha untuk tetap fokus ke acara inti di hari itu, akad nikah. Masalah mama biar gema dan saudara yang lain yang ambil alih.
Semuanya berjalan sangat lancar. Alhamdulillah, ketika penghulu datang dan semua saksi sudah duduk di tempatnya, akad nikah siap dilaksanakan. Tapi sebelum itu, gita meminta izin nikah kepada ayahnya terlebih dulu. Suasana mulai menjadi haru. Beberapa tamu undangan yang hadir menitikkan air mata, termasuk mas Patrick yang memang rada mellow. Gita menolak kalimat template yang disediakan penghulu untuk ia bacakan. Ia justru merangkai kalimatnya sendiri untuk meminta izin menikah kepada ayahnya. Saya berusaha sekuat tenaga untuk tidak mendengarkan setiap perkataan gita karena saya takut akan ikut berlinang air mata seperti yang lain. saya hanya ingat satu bagian ketika gita mengatakan bahwa ayahnyalah yang mengantarkan dirinya ke UI kemudian tanpa disangka di UI lah gita bertemu jodohnya. Selanjutnya, saya tidak mau mendengar lagi . . .

Barulah setelah itu, ijab qobul dilaksanakan. Bismillahirahmanirahim. "Saya terima nikahnya dan kawinnya Ratu Mas Gita Romadhona binti Raden Mawardi dengan mas kawin tersebut tunai". Saksi menyatakan"sah!" dan selesai sudah prosesi yang agung itu. 

Alhamdulillah.
[wira]

Tidak Ada yang Perlu Dicemaskan

Jumat, 1 Oktober 2010

Apa perasaan yang seharusnya saya rasakan? Saya tak berhenti-berhentinya bertanya pada diri sendiri. Semua teman, lewat message, SMS, telepon bertanya hal yang sama “Deg-deg-an ya Git?” Saya bingung menjawabnya. Apakah saya deg-degan? Rasanya tidak. Siang ini saya justru masih jalan ke gedung untuk mengambil kwitansi pembayaran. Mas Ilham—sang marketing Pesona Khayangan—sampai kaget saat tahu sayalah yang datang ke sana. Ih biasa aja kali, Mas :P

Ya, saya bingung mendekripsikan perasaan saya hari ini. Saya tahu, besok adalah sebuah awal besar yang akan mengubah hidup saya. Tetapi, membayangkan akan melaluinya bersama Wira, membuat saya tak merasa grogi atau ragu sedikit pun. Saya sudah mengenal Wira, lama sekali. Hampir tujuh tahun.
Kami berteman—bersahabat tepatnya. Saya dan iwied, selalu mengandalkan Wira sebagai teman laki-laki terdekat jika kami membutuhkan bantuan—apa pun itu. Kami juga sudah sering mendaki gunung bersama, bermalam dalam satu tenda, berbagi makanan seadanya. Bahkan, di gunung terakhir, Wiliis—Jawa Timur—kami sempat tersesat, dan berbagi khawatir bersama.

Ya, saya mengenalnya. Saya tahu, saya mengenal laki-laki yang akan berjalan bersama saya ini. Dan, dengan segenap hati, saya percaya padanya. Menyerahkan peta dan arah, serta  melabuhkan semua tujuan, bersamanya.

Justru, malam ini, saya mencemaskan orang lain, bersedih untuk sesuatu yang mungkin akan berubah di antara kami. Saya cemas untuk sahabat terbaik saya, iwied. Saya tahu, mau tidak mau, besok semua tidak lagi sama. Kami, yang tadinya tak terpisahkan—benar-benar tidak terpisahkan, akan mulai belajar menata hidup sendiri-sendiri. Betapa sedihnya. Saya membayangkan tak bisa lagi bertengkar pagi-pagi karena iwied yang sulit bangun, atau di tengah kantuk, dengan jengkelnya saya harus menjadi stylish iwied yang selalu ragu-ragu dengan pilihannya.
Sepuluh tahun, hari-hari mengikat kami lebih dari ikatan saudara kembar sekali pun. Kami berbagi segalanya. Tawa yang tak habis-habisnya. Juga tangis yang meledak kapan saja. Kami mematahkan anggapan orang yang bilang, persahabatan kami sangat rentan, toh waktu menjawab semuanya.

Malam itu, saya mencemaskan sahabat saya. Saya takut, setelah besok, dia akan menjauh. Menjauh dari saya dan mungkin mencari sahabat baru. Saya takut, obrolan saya tak lagi bisa menyamai obrolannya atau dia lelah karena saya terlalu larut dalam dunia baru.

Malam itu, saya tak berani membuka obrolan. Sahabat saya itu, dengan ceria, menyiapkan baju terbaik untuk hari besok—hari besar saya. Sungguh, saya tahu dia berbahagia untuk saya. Setelah saya, dialah orang paling bahagia hari itu.

Ah, melihatnya berbahagia seperti itu, ssegala kecemasan yang saya rasakan menguap dan menghilang. Saya tahu, saya tidak akan pernah kehilangan dia. Dia sahabat terbaik saya. Saya akan selalu juga menjadi sahabat terbaiknya. bukankah waktu telah membuktikannya? Dan, saya tahu, Tidak akan ada yang berubah.

Besok, hanyalah sebuah fase lagi dalam cerita kami. Cerita saya dan sahabat saya. Ya, kamilah peran utamanya. Jadi, tak ada yang perlu dicemaskan.  [Gita]

Selasa, 28 September 2010

One Week Before D-Day

Torehan pertama di blog ini. Blog yang sengaja dibuat untuk merekam jejak perjalanan kami. Perjalanan doa-doa . . .

Hari ini, lima hari sebelum akad. Keluargaku sudah mulai terlihat sibuk mengurus berbagai hal. Bapa yang tidak habis-habisnya menyortir undangan. Ibu yang mulai menata-nata barang seserahan. Ita yang kesibukkannya harus selalu dengan order, dan mbah putri yang eksis di segala hal.


Huff. Repot, ribet, pusing – kalau boleh dibilang, menikah sebaiknya hanya satu kali saja. Alasannya ya karena ribet urusan yang macem-macem ini. Benar kata Gita, kami sebetulnya menginginkan sebuah pernikahan yang sederhana saja, tetapi khusyu dan dihadiri oleh semua teman kami. Dengan ceramah dari ustad haroki. Dengan hiburan syahdu, entah nasyid atau musikalisasi puisi. Dengan hijab walimah seadanya, meski hanya pot-pot tanaman tetapi menunjukkan identitas karakter dakwah. Dan tentu saja dengan makanan yang juga sederhana. Tapi, apa daya – kerja 5 bulan  tidak mungkin bisa menutup berbagai kebutuhan pernikahan. Ditambah lagi sudah 3 bulan ini aku tidak mendapat rapelan. Situasi yang menjadi serba rumit karena kami akan melangsungkan pernikahan di gedung yang bisa dibilang "cukup" mewah di daerah Margonda.

Entahlah, mungkin karena kami belum menjadi orangtua, maka kami sulit memahami keinginan orangtua saat ini. Tiba-tiba, aku merasa pernikahan ini milik mereka. Kontribusi yang kami berikan seolah tidak ada apa-apanya dibandingkan dana yang sudah dan akan mereka keluarkan sampai acara selesai. Wajar memang, jika mereka terkesan memiliki acara ini. Sudahlah, khusnuzhon saja bahwa orangtua selalu memikirkan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Kali ini pun, pastilah aku dan Gita diberikan yang terbaik oleh mereka. [wira]

Senin, 27 September 2010

laki-laki bernama gerimis






laki-laki itu bernama gerimis
tak ada badai bersamanya
menggerimit pada rinai
selalu mengundang basah
tapi, tak pernah bisa memaknai arti tetes sendiri

laki-laki itu bernama gerimis
tak ada badai bersamanya
diam-diam menamai setiap riak,selalu pula mengutuki tiap rintik yang pergi

laki-laki itu bernama gerimis
dan gerimis selamanya tidak akan menjelma hujan

--somewhere--Januari 2007

--Tiba-tiba, gw keinget puisi di atas, yang gw bikin buat wira udah lamaaaa banget :p. Gw menyebutnya laki-laki gerimis, karena buat gw gerimis kadang menyenangkan, kadang nyebelin, kadang ngangenin, kadang penuh inspirasi, kadang malah bikin maki-maki, kayak wira, haha.
and than, seminggu lagi--eh lima hari lagi dink!--gw akan mengikat hidup dengan laki-laki gerimis itu.berjalan bersama dan belajar menyetia.

yah,perjalanan pasti menyenangkan bersamanya. gw yakin :)

[gita]


Rabu, 22 September 2010

sakit :( [H-10]

dan, gw terserang flu serta radang tenggorokan. sakit sekali jika menelan :(
padahal, gw nggak sibuk-sibuk banget dengan semua persiapan. hmm, deadline sih di kantor. mungkin karena itu ya. terbagi-baginya pikiran juga bisa membuat imunitas tubuh melemah (hiyaaaa nemu teori baru :D).

tadinya gw ingin bercerita banyak tentang kami. tapi, mengingat kondisi yang nggak memungkinkan, (alaah) gw tunda dulu deh tulisannya.

H-10, gw flu berat dan nggak deg-deg-an sama sekali. benarkan saya dalam kondisi yang normal? hehehe
                                                                                                                                          


(gita)


gambar pinjem di sini

Selasa, 21 September 2010

kita adalah perjalanan panjang


kita adalah perjalanan panjang
di antara semak belukar dan jalan naik turun
kadang lelah dan ingin menyerah
tetapi, kita tahu, kita akan saling menunggu

kita adalah perjalanan panjang
batu terjal, hutan pinus, dan langit mendung
mungkin akan kita temui berkali-kali lagi
tetapi, kau tahu, tak akan pernah bosan jika bersamamu


kita adalah perjalanan panjang
dengan takdirmu, ada dalam takdirku


(gita & wira)