Selasa, 17 Juni 2014

KARENA PELUKAN MERINGANKAN BEBAN





                                                                (gambar pinjam dari sini)
                                                                       
Hidup memang milik Allah dan kita masih sama-sama belajar memaksimalkan kesempatan yang diberikan. Tahun ini harus kau kenang sebagai tahun yang bersejarah, git. Betapa tidak, Allah mengingatkan lagi pada kita kalau segala sesuatu itu hanya berasal dari-Nya. Kau harus ingat, atuk, ayahmu terserang stroke saat baru satu minggu kita pulang bersenang-senang camping di Curug Nangka. Saat itu roda kehidupan terasa berbalik. Kebahagiaan yang baru saja membuncah pasca camping seketika berubah menjadi kesedihan. Semudah itulah Allah mengatur irama kehidupan manusia. Dan, di titik itu pula aku mengerti mengapa banyak orang bilang kalau pelukan hangat itu meringankan beban. Aku membuktikannya bersamamu. Saat itu kita sangat sering berpelukan, seperti gerakan refleks untuk saling memberi tambahan kekuatan saat kita gontai. Betul, pelukan memang meringankan beban.

Di luar sana, orang-orang sedang sangat riuh berpolitik. Luar biasa hingar-bingarnya, sampai-sampai tema obrolan kita belakangan ini juga membicarakan hal yang sangat mainstream itu. Aku ingat, di tengah-tengah obrolan kita kau sempat mengatakan seandainya kau tidak menikah denganku mungkin kau sama seperti orang-orang di luar sana. Orang-orang yang begitu membenci teman-temannya sendiri yang berbeda pilihan menjelang pemilu. Lucunya, kau juga bilang mungkin akan membenciku karena aku bersahabat dengan orang-orang yang sedang ramai diolok-olok di media sosial hari ini terkait afiliasi dan preferensi politik mereka. Kau salah, git, aku bukan hanya bersahabat dengan mereka, aku bersaudara dengan mereka.

Syukurlah, kau sudah bersamaku hari ini. Dengan begitu, kita tidak perlu berperang urat syaraf secara virtual dalam konteks pemilu. Aku beruntung, kau mau mendengarkan semua nasihat normatifku agar kita tetap waras menjalin pertemanan dan persahabatan dengan siapa saja. Intinya, aku beruntung karena kita sudah menjadi teman seperjalanan. Ini adalah kalimat halusnya, dengan kata lain, “aku sudah menundukkanmu, gita”. Senang rasanya bisa menjadi pimpinan perjalanan yang didengarkan arahannya. Seperti senangnya kita saat berhasil mengajarkan Nala untuk tidak makan kerupuk saat batuk. Senang rasanya diberi kepercayaan di tengah gejala pembangkangan terhadap budaya “patriarki” oleh sekelompok orang-orang latah. Meski aku tahu persis, kau jauh berbeda dari para pengasong feminisme itu. Lantas bagaimana, apa kita damaikan saja orang-orang yang meributkan pemilu di luar sana dengan pernikahan? Mungkinkah mereka akan jatuh cinta satu sama lain nantinya? Apa aku mulai terdengar seperti Mario Teguh? Hehe.

Aku tidak akan banyak menulis untukmu kali ini karena naif rasanya untuk membuat tulisan romantis pada seorang editor romance. Hanya saja, aku percaya bahwa kasih sayang bisa mengabadi pada tulisan. Bukan karena teksnya, tapi karena konteksnya. Seperti saat ini -- saat aku membuat tulisan ini. Setelah aku membaca ulang dari atas, aku merasa tulisan ini masih belum mewakili melankolia yang terjadi. Artinya, kau harus selalu memahami konteksnya untuk bisa meyakini bahwa tulisan ini sangat romantis. Dengan begitu, kau akan sanggup tersipu-sipu hanya dengan SMS-ku yang berbunyi, “lagi ngapain, bun?”.

Semoga, hari-hari di depan sana lebih mudah untuk dimaknai agar tidak terlewat begitu saja. Semoga, tidak ada lagi ketergesaan dalam hidup. Karena seluruh pencapaian hidup yang serba materialis itu hanya bualan para motivator. Semoga kita bisa memunguti hikmah yang disediakan oleh Allah di setiap perjalanan. Hikmah yang berserakan tapi kadang sering luput dari pengamatan. Tetaplah menjadi teman perjalananku, gita. Barakallah fi umrik ya zaujaty.



3 komentar: