Senin, 18 Oktober 2010

Drama Bandara ( 1)

Pernahkah Anda kehilangan surat berharga Anda. Mungkin itu adalah pertanyaan sederhana yang mudah dijawab bagi orang yang sudah pernah mengalami atau mungkin malah belum pernah. Hari kamis yang lalu, ketika aku pergi mengantar mertua ke Bandara, aku kehilangan tas yang berisi dua lembar ijazah S1 dan S2. selain itu, ada pula laptop yang isi harddisknya lebih mahal berpuluh-puluh kali lipat dari harga laptopnya.

Cerita singkatnya begini; akupergi mengantar ke Bandara dari Depok sekitar pukul 11.00 WIB, padahal pesawat take off pukul 13.15. Sebenatnya, jika perjalanan lancar-lancar saja, waktu 2 jam itu sangat cukup untuk mencapai Bandara yang memang aksesnya didominasi jalan tol. Namun, Jakarta kota yang kejam. Kami diberi macet padat merayap sejak masuk pintu tol di kawasan Pancoran. Jadilah sepanjang perjalanan kami sudah mulai memikirkan situasi terburuk yaitu, ketinggalan pesawat. Wajah gelisah dari Papa tidak bisa disembunyikan. Mama yang juga sangat ingin segera pulang juga tidak bisa membohongi kami bahwa beliau sangat gelisah. Sisanya adalah gerutu dan gelisah Gita seperti yang sudah aku kenal selama ini. Oh iya ada satu lagi, Aak Gema yang pembawaannya santai saja, bahkan sempat tertidur di perjalanan.

Ternyata kami masih bisa berharap pada keberuntungan dan celah indisipliner airlines domestik. Kami tiba di Bandara jam 1 siang, kemudian Papa Mama langsung meluncur ke dalam untuk check in. Gita dan Aak ditahan diluar karena tidak memiliki tiket, sedangkan aku harus segera pergi karena berada di kawasan drop in/off yang dilarang parker. Saat itu, Papa dan Mama hanya membawa tas yang paling penting, karena kami takut tidak ada waktu untuk memasukan barang ke bagasi. Sisa tas yang banyak dan berat itu aku bawa pergi keluar area untuk memutar kembali. Di tengah perjalanan memutar, gita menelepon dan memberitahu bahwa PapaMama berhasil check in, tidak hanya itu, barang2 sisa yang ada di mobilku juga bisa ditimbang untuk masuk ke bagasi. Jadilah saat itu aku yang harus buru2 kembali untuk menyerahkan sisa tas. Nah, ketika sampai kembali di terminal itulah tasku terbawa. Memang, saat itu, situasinya sangat tegang dan serba panik, Aak dan Papa menggotong apa saja yang tersisa dari bagasi mobil untuk segera dibawa masuk. Aku sama sekali tidak sadar bahwa satu di antara tas yang mereka bawa masuk adalah tas milikku.Saat itu kami masih fokus mengkhawatirkan nasib penerbangan PapaMama, semoga mereka bisa diberangkatkan ke Jambi. Kemudian aku harus memutar lagi karena waktu parkirku sudah habis.

Saat pergi memutar, gita terus mengabari perkembangan terakhir dari PapaMama, ternyata mereka belum masuk ke pesawat. Itu artinya kami belum bisa pulang. Tapi, mereka sudah memegang boarding pass dan berada di ruang tunggu. Sesampainya di terminal lagi, aku tidak mendapatkan perkembangan berarti dari Gita dan Aak. Jadilah aku pergi memutar untuk kesekian kalinya. Kali ini aku berjalan sangat pelan supaya tidak segera harus memutar lagi. Dan ketika tiba di terminal, Gita dan Aak memutuskan untuk naik ke dalam mobil. Mereka menganggap status PapaMama sudah aman, tapi tetap belum tenang karena hape keduanya tidak bisa dihubungi. Kami masih khawatir kalau-kalau PapaMama tertahan di ruang tunggu. Terlebih ketika kami sempat melihat pesawat Lion Air yang mulai bergerak di landasan. Alhamdulillah, tiba2 ada sms dari papa yang mengatakan bahwa mereka sudah ada di dalam pesawat. Huff hati kami semuanya menjadi tenang, lega dan puas. Tiba-tiba kami merasa sangat lapar karena semenjak tadi belum sempat memasukkan apapun ke dalam mulut. Waktu saat itu menunjukkan pukull 13.45. Kami memutuskan untuk makan di daerah Margonda Depok saja karena kami lebih mengenal cita rasa tiap masakan di sana. Ya, makan kali itu kami lakukan seperti sebuah perayaan karena kami telah melewati hari yang sangat menegangkan.

Hari yang penuh drama, kata Gita di rumah makan SS (special sambal). Kami baru masuk Margonda sekitar pukul 4 sore. Perjalanan pulang yang juga sangat macet. Namun, macet saat pulang itu tidak terasa sama sekali. Tentu saja karena kami masih sangat lega PapaMama tidak ketinggalan pesawat. Aku makan dengan sangat lahap, seperti orang yang buka puasa. Sampai detik itu aku sama sekali belum menyadari bahwa tasku tidak ada di mobil.

Setelah makan-makan, Gita minta diantar ke kantor untuk kembali kerja, sedangkan Aak Gema harus mengikuti kuliah malam di UI. Setelah sampai di kantor Gita, tiba2 rasa kantukku tak tertahan lagi, jadilah aku tidur di dalam mobil sampai menjelang maghrib. Saat itu rasanya aku tidur pulas sekali karena perut kenyang dan lelah habis menyetir selama 6 jam non-stop. Ditambah lagi, hawa yang sejuk karena sore hari itu meyisakan gerimis sisa hujan deras siang harinya. Sekitar pukul 18.30 Gita keluar dari kantor, lalu kami bergegas pergi mencari masjid untuk sholat Maghrib.

Sepanjang perjalanan pulang kekosan kami tidak henti-hentinya mengutuk hari ini yang akhirnya bisa kami lewati dengan kemenangan. Setelah itu, kami mampir ke sebuah percetakan dijital di Margonda untuk memindai ijazah dan transkrip yang akan kugunakan untuk melamar CPNS LIPI. Nah, saat aku membuka bagasi mobil, aku tidak menemukan tas hitamku yang dengan sangat sadar aku letakkan di situ saat berangkat. Mulailah aku cemas. Selama beberapa menit kami sempat membongkar-bongkar kusrsi mobil, depan-tengah-belakang, tapi tetap tidak bisa menemukan keberadaan tas tersebut.

Saat itu aku mulai panik, karena sadar bahwa kemungkinan aku telah kehilangan tas yang berisi ijazah S1 dan S2 sekaligus laptop di dalamnya. Astaghfirullah, ternyata hari itu belum berakhir. Aku dan Gita sama-sama sulit berbicara selain mulai menelepon semua orang yang sebelumnya bersama kami. Mulai dari Ice, Gita menanyakan keberadaaan tasku di kosan, ternyata tidak ada. Kemudian Gita mulai menelepon PapaMama yang ternyata sulit mengangkat karena lemahnya sinyal di kota mereka. Sesampainya di kosan, kami masih sibuk menelepon siapa saja untuk mencari tahu keberadaan tas tersebut. Iwied yang saat itu juga baru sampai di kosan tidak tinggal diam untuk ikut membantu kami menelepon banyak nomor. Kami semakin gelisah ketika Gita mendapatkan kabar dari Aak bahwa tas tersebut terlihat oleh Aak saat di bandara tadi. Jadilah kami berharap agar tas tersebut diselamatkan petugas atau paling tidak terbawa oleh PapaMama. Ternyata, Papa yang mulai dapat dihubungi mengatakan bahwa tidak ada tas hitam yang terbawa oleh mereka. Saat itu, kami sepakat tidak memberitahu isi tas tersebut kepada Papa. Kami hanya mengatakan bahwa isi tas tersebut hanya buku2 kuliah yang tidak terlalu penting. Usaha, tidak berhenti disitu, iwied yang dengan rela memberikan teleponnya malam itu yang memang satu2nya hp yang masih memiliki pulsa dan batre menelepon pihak bandara termasuk Lions Air untuk mengkomfirmasi. Pihak Lions air tidak dapat dihubungi. Sedangkan pihak bandara mengatakan bahwa ada tempat pengaduan kehilangan di terminal yang bisa kami mintai tolong. Aak yang mengetahui persis proses kehilangan siang tadi menagtakan akan pergi ke bandara esok pagi. Ia haya minta tolong dibangunkan agar bisa ke bandara pagi-pagi. Kami juga sempat berpikir untuk pergi ke bandara malam itu juga, mumpung kami masih membawa mobil. Namun, staminaku sudah sangat drop malam itu. Berkali-kali aku mengajak Gita untuk segera pulang, karena memang aku sangat lelah. Sudahlah, aku ingin istirahat saja dan bertawakal pada Allah. Dan akhirnya kami pulang dengan bekal beberapa nomor telepon yang sudah dicarikan Iwied.

Alhamdulillah, aku ditemani oleh istriku yang tidak ada duanya. Dia adalah teman yang sempurna di saat-saat seperti itu. Dengannya, entah kenapa aku merasa lebih kuat. Apalagi ketika ia berkali-kali mengatakan bahwa kami tidak akan kenapa-kenapa tanpa kedua ijazah itu. Hatiku hanya gundah ketika memikirkan rasa kecewa orangtua apabila mengetahui bahwa ijazahku telah hilang. Selebihnya, dengan Gita di sisiku, semua terasa baik-baik saja. Kami mampir ke tempat pencucian mobil, gita tertidur di pundakku saat menunggu proses pencucian. Sementara itu, aku memesan segelas kopi untuk menenangkan pikiran. Huff, rasanya itu adalah hari paling tragis yang pernah aku alami. Betul, aku belum pernah merasakan kehilangan seperti yang terjadi saat itu. Aku pernah kehilangan dompet yang berisi segala macam identitas diri termasuk STNK motor. Tapi, kejadian itu tidak ada apa2nya dibandingkan kejadian yang baru saja aku alami. Ternyata benar kata orang2, kita tidak akan merasa memiliki sampai kita kehilangan. Ah, setidaknya aku masih memiliki Gita, dan itu lebih dari cukup.

Sesampainya di rumah, Gita langsung tertidur karena ia sangat lelah. Sebenarnya, sejak sore, Gita memang tidak enak badan, tapi ia terus menahannya agar tidak menjadi masalah baru. Aku kasihan sekali padanya hari ini. Ia kubiarkan beristirahat lebih dulu. Tidak lama, aku menyusulnya untuk beristirahat juga sambil merenungkan dosa apa yang aku perbuat sampai Allah memberi cobaan seperti hari ini. Memang, cobaan ini masih standar2 saja untuk aku lewati dibandingkan cobaan diberi penyakit berat, misalnya. Tapi, kok rasanya sangat beraaaat. Namun, untunglah, ada makhluk menyenangkan di sisiku malam itu. Sosok yang selalu menyayangi, sosok yang selalu memotivasi. [wiRa]

1 komentar: