Minggu, 24 Oktober 2010

Drama Bandara (bagian 2) - habis

Keesokan harinya, aku bangun sekitar pukul 04.15 untuk mandi dan berangkat solat shubuh di masjid. Sepertinya memang ada yang harus diberikan laporan terkait masalahku saat itu. Mencoba curhat sama Allah di pagi hari, gak ada salahnya toh. Kemudian pagi harinya, aku dan Gita memulai rutinitas seperti biasanya. Sarapan dan bersenda gurau bersama keluargaku sebelum berangkat kerja. Rasanya, situasi seperti itu begitu sempurna andaikata aku tidak kehilangan ijazah. Kira-kira seperti itulah perasaanku pagi itu. Menganggap segala sesuatunya akan lebih sempurna dengan kehadiran ijazah-ijazah itu. Dua lembar kertas yang entah kenapa mendadak jadi sangat penting.

Di tempat lain, Aak belum bisa dihubungi. Sehari sebelumnya, ia hanya meminta untuk dibangunkan pagi hari supaya bisa berangkat ke bandara. Ketika gita mencoba menghubungi Aak, aku mencoba menghubungi nomor telepon yang diberikan Iwied malam sebelumnya. Nomor telepon terminal 1 A dan nomor telepon Lions Air. Yang memberikan respon hanya terminal 1 A yang kemudian mengarahkanku untuk pergi ke bandara mengonfirmasi kehilangan di sana. Aku perlu bercerita di sini bahwa maskapai Lions Air sangat mengecewakan untuk urusan keluhan dan informasi penumpang. Customer service mereka tidak merespon dengan baik keluhan dan pertanyaan yang disampaikan. Sehari sebelumnya, ketika kami sedang bingung terkait nasib PapaMama di bandara, mereka juga tidak bisa dihubungi. Yang lebih parah lagi, Gita sempat berbicara dengan petugas CS mereka, tapi kemudian di tengah kebingungan si CS itu, terdengar bisik-bisik dari salah seorang temannya yang menyuruh si CS untuk menutup teleponnya. Dashyat!! Padahal pertanyaan gita sangat-sangat sederhana untuk dijawab seorang CS. Akhirnya, pagi itu kami hanya bisa menghubungi Aak yang memastikan keberangkatannya ke bandara untuk mencari tasku yang hilang.

Kemudian, kami berangkat ke kantor seperti biasa. Di jalan, gita masih mencoba menghiburku dengan obrolan seputar masa depan yang tidak akan kenapa-kenapa tanpa ijazah. Hufftt, pokoknya pagi itu yang aku lakukan hanya mengumpulkan kekuatan ikhlas terhadap apapun hasil yang didapatkan Aak di bandara. Benarlah apabila dikatakan ikhlas itu tahapan tertinggi dari suatu amal. Pastinya, karena ikhlas itu bukan hal yang mudah. Tapi, berkali-kali aku bergumam “aku ikhlas ya Allah”.

Setelah mengantar gita ke kantornya, aku langsung meluncur ke kelapa dua untuk mengambil tanki Kawasaki Ninja yang sudah kupesan hari sebelumnya. Tanki Kawasaki ninja bekas untuk menggantikan tanki Ninjaku yang sering bocor. Motorku yang satu itu juga lagi minta perhatian. Dua hari di bengkel saja sudah menghabiskan 600ribu, kacau! Setelah membeli tanki, aku kekosan untuk menaruh tanki itu di sana. Ternyata di kosan ada Ice yang langsung bertanya seputar ijazah. Hehe, aku hanya tersenyum dan mengatakan ke ice, sekarang aku ini lulusan SMA lho. Miris ya . . . Lalu, aku juga bilang ke Ice untuk tidak memberi tahu PapaMama masalah isi tasku itu. Lalu aku pergi ke kampus untuk membuat legalisasi baru sekaligus mencari-cari tahu apa yang terjadi kalau ijazah hilang. Ternyata benar, ijazah itu hanya satu utnuk tiap lulusan dan tidak bisa dicetak ulang. Setiap yang kehilangan ijazah hanya bisa dibuatkan surat keterangan pernah kuliah semacam itulah dari UI. Beruntung petugas sub-bagian akademik yang sering dipanggil mas Supri bisa menjanjikan legalisasiku selesai satu hari. Padahal, waktu normalnya adalah 2-3 hari kerja. Kami cepat akrab karena memang sudah kenal lama. Hari itu aku bolos kerja untuk kesekian kalinya demi urusan ijazah ini. Kebetulan, transkrip baru versi bahasa Inggris yang sedang kubuat ada kesalahan pada judul skripsinya, jadi semuanya serba sekaligus diurus. Kebetulan, hari itu adalah hari terakhir pendaftaran LIPI secara online yang mewajibkan uploading foto ijazah dan transkrip legalisir. Aku memang sedang berniat masuk LIPI mumpung formasinya ada. Tahun-tahun sebelumnya, sastra arab tidak ada di formasi rekruitmen LIPI, tapi kali ini ada.

Terpisah dari Gita di saat-saat seperti itu “nyesek” rasanya. Tiap sepuluh menit kami saling melaporkan situasi. Aku memberi kabar urusanku di kampus. Gita memberi kabar Aak yang sedang dalam perjalanan, begitu seterusnya. Setelah selesai urusan di kampus, aku kembali kekosan untuk solat Jumat. Kali itu, khotbah ustad di masjid belakang stasiun UI sangat menarik. Intinya aku tidak tertidur seperti jumat-jumat lainnya. Selesai solat jumat, aku membeli ketoprak yang mangkal di depan masjid. Orang-orang yang menghabiskan zikirnya sampai selesai satu persatu juga keluar dari masjid. Salah seorang yang keluar paling belakangan adalah seorang bapak buta yang tampaknya juga seorang pengemis. Aku memerhatikannya sambil menunggu ketoprakku jadi. Betul, dia buta dan tampaknya dia juga pengemis. Tapi, dia ikut zikir sampai selesai dan ketika keluar dari masjid, ia tidak mengemis kepada para jamaah yang masih ada seperti umumnya pengemis. Ia justru melangkah pergi meninggalkan masjid. Jelas, orang ini berbeda kelas dengan kaum dhuafa lain yang sering berkumpul di depan masjid untuk meminta-minta kepada jamaah setelah solat. Masalah mereka ikut solat atau tidak aku tidak tahu. Tapi yang jelas, mereka sudah stand by di luar saat jamaah keluar masjid. Sedangkan, bapak buta ini mengikuti zikir sampai selesai dan tidak meminta-minta setelah keluar masjid. Terbesit pikiranku untuk memberi sedekah pada bapak itu sambil berharap Allah mau melepaskanku dari masalah. Tapi, di situ banyak orang dan aku bingung untuk memberikan sedekah tanpa diperhatikan orang-orang. Apalagi, aku takut si bapak buta ini tidak mau diberikan uang. Untunglah, ada spot gang kecil yang menghubungkan masjid dengan peron stasiun. Semacam lorong gelap begitulah. Di situ tidak ada orang-orang. Dan ketika bapak buta itu sampai di lorong tersebut, aku meraih tangannya sambil memberi sedikit uang. Saat itu aku cuma bilang, ini buat bapak dan ia langsung bilang jazakallah. Iya, aku tidak salah dengar, dia bilang “jazakallah”. Bukankah itu ucapan terima kasih yang paling indah dari dhuafa seperti bapak buta tadi. Atau aku saja yang jarang ngobrol dengan dhuafa di daerah depok.

Ketoprak sudah kuhabiskan. Aku beristirahat sejenak di kosan sambil menunggu kabar dari Aak atau Gita, atau mas Supri. Kira-kira jam setengah 2 siang, mas Supri mengirim sms yang mengatakan bahwa legalisasiku sudah beres dan bisa diambil sore itu juga. Aku sangat senang karena artinya satu masalah beres di hari itu. Aku segera meluncur ke kampus untuk mengambil legalisasi transkrip. Di lain tempat, Aak belum memberi kabar ke Gita, tapi aku sudah mulai tidak memikirkannya. Aku pasrah apapun hasilnya. Agenda berikutnya di hari itu adalah ke KUA untuk mengambil buku nikah kami yang sedang diperbaiki. Nah, dalam perjalanan ke KUA Beji, hapeku bergetar terus di celana. Aku tahu itu pasti gita, tapi aku malas mengangkat karena sedang tanggung di perjalanan yang sudah hampir sampai. Tapi, kok kali ini hape terus2an bergetar yang artinya ada sesuatu yang penting. Lalu aku menepi untuk mengangkat telepon. Benar, ternyata dari istriku, Gita.
Aku : “Assalamualaikum”
Gita : “Wira, tas-nya ketemu tuh, kamu di mana sekarang?”
Aku : “Alhamdulillah . . . aku lagi di jalan mau ke KUA, beneran tas-nya ketemu?
Gita : “Iya bener, kamu telepon Aak gih, tungguin dia di kosan!”
Aku : “oke-oke, sip, ntar aku langsung kekosan, Aak keren banget, git!”
Gita : “yaudah, ati2 ya, kabarin aku . . .
Aku : “iya, *********** (sensor)

Lega rasanya. Setelah dari KUA aku mampir ke AHASS untuk menyetel rem belakang Supra X yang agak blong. Aku ber-sms dengan Aak, ternyata ia masih di tol. Hufft . . jarak yang masih sangat jauh untuk sampai di Depok. Tapi, aku tidak mau kemana-mana. Selesai dari AHASS aku langsung ke kosan menunggu dengan tenang. Ternyata Aak baru tiba jam setengah 6 sore. Ketika sampai, ia membawa tasku yang hilang itu. Aku langsung berterima kasih karena aku bisa memahami bagaimana repotnya ia hari itu. Ditambah lagi, Aak datang dengan keadaan kemeja yang basah keringat, seperti orang yang habis berlari. Kasihan pokoknya. Aak menyuruhku melihat isi tas, apakah sudah lengkap isinya. Ternyata tidak satupun yang hilang dari tasku itu. Sebelum Aak pergi ia menceritakan sedikit drama yang ia alami di bandara. Katanya, ia dipimpong oleh orang-orang bandara. Bertanya ke informasi dilempar ke sekuriti. Bertanya ke sekuriti dilempar lagi ke yang lain. Sampai akhirnya Aak melihat sekuriti yang kemarin sempat menangkapnya karena bolak-balik keluar masuk terminal saat mengantar PapaMama. Pada petugas itu, Aak bertanya perihal tas yang hilang sambil sedikit, mungkin, menyalahkan petugas itu karena akibat penangkapannya itulah Aak kehilangan tas. Lalu, Aak diantarkan ke gudang untuk mengecek barang hilang yang berhasil diamankan petugas. Di situlah, Aak akhirnya menemukan tasku. Kata Aak, di gudang itu penuh dengan barang-barang penumpang yang hilang di bandara. Ada sekardus hp, tas-tas dan lain-lain. Katanya, kalau sampai 3 bulan barang-barang itu tidak diambil, maka semuanya akan di lelang. Seandainya, ijazahku ikut dilelang . . hehe. Aku jadi ingat ketika di perjalanan hari sebelumnya, Aak sempat berkata pada kami untuk pindah ke luar negeri jika ada kesempatan. Menurut dia, Indonesia sudah terlalu kacau untuk dihuni. Hehe, sepertinya, setelah kejadian ini Aak semakin ingin segera ke luar negeri deh . .

Aak langsung pergi ke kampus untuk kuliah. Setelah itu, aku tidak sabar ingin segera menjemput Gita untuk berbagi kebahagiaan hari itu. Pertama, legalisasi transkrip yang sudah diperbaiki selesai. Kedua, tasku ketemu. Sisanya, segala macam urusan motor juga beres. Alhamdulillah . . .

(wiRa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar