Senin, 18 Oktober 2010

Detik Demi Detik


Malam hari sebelum pelaksanaan akad, di rumah saya sudah banyak saudara dan kerabat. Mereka berencana ikut menyaksikan akad keesokan harinya. Kebanyakan dari mereka adalah saudara-saudara dekat dari kampung orangtua saya di Jatilawang, Banyumas. Jumlah mereka kurang lebih 40 orang. Karena jumlah mereka yang terhitung banyak untuk ukuran rumah yang tidak terlalu besar, jadilah kami semua berserakan di lantai dengan karpet sebagai selimut dan sajadah sebagai bantal. Suasananya mirip tempat pengungsian, hehe . Walaupun lakon utama dari perhelatan kali itu adalah saya, tapi demi kenyamanan mereka yang sudah menempati kamar-kamar dengan nyaman, saya ikhlas tidur di lantai bersama yang lain. Rasanya tidak tega membangunkan beberapa saudara yang sudah terlelap tidur di kamar-kamar, termasuk kamar saya. Seolah mereka lupa, sayalah yang membutuhkan tidur nyenyak untuk menghadapi akad esok hari. Hehe, begitulah, sampai akhirnya saya dibangunkan oleh suara alarm BB tepat pukul setengah 4.

Awalnya, semuanya tampak lancar-lancar saja sampai akhirnya saya mendapatkan kabar bahwa mamanya gita tidak bisa menhadiri akad karena jatuh sakit. Saya dengar beliau demam tinggi dan sempat muntah. Tiba-tiba suasana persiapan kami menjadi tegang. Namun, saya berpikir positif untuk mengembalikan semua rukun nikah pada tempatnya. Bahwa ibu dari mempelai wanita bukanlah bagian dari rukun nikah. Jadi, tidak boleh ada masalah selama ayahanda Mawardi bisa hadir untuk pelaksanaan akad. Sisanya saya tidak mau memikirkannya lagi. Syukur alhamdulillah, mama Salma bisa hadir setelah saya dengar seluruh keluarganya memaksa beliau untuk hadir meskipun harus ditandu. Mengkhawatirkan memang, tapi saya berusaha untuk tetap fokus ke acara inti di hari itu, akad nikah. Masalah mama biar gema dan saudara yang lain yang ambil alih.
Semuanya berjalan sangat lancar. Alhamdulillah, ketika penghulu datang dan semua saksi sudah duduk di tempatnya, akad nikah siap dilaksanakan. Tapi sebelum itu, gita meminta izin nikah kepada ayahnya terlebih dulu. Suasana mulai menjadi haru. Beberapa tamu undangan yang hadir menitikkan air mata, termasuk mas Patrick yang memang rada mellow. Gita menolak kalimat template yang disediakan penghulu untuk ia bacakan. Ia justru merangkai kalimatnya sendiri untuk meminta izin menikah kepada ayahnya. Saya berusaha sekuat tenaga untuk tidak mendengarkan setiap perkataan gita karena saya takut akan ikut berlinang air mata seperti yang lain. saya hanya ingat satu bagian ketika gita mengatakan bahwa ayahnyalah yang mengantarkan dirinya ke UI kemudian tanpa disangka di UI lah gita bertemu jodohnya. Selanjutnya, saya tidak mau mendengar lagi . . .

Barulah setelah itu, ijab qobul dilaksanakan. Bismillahirahmanirahim. "Saya terima nikahnya dan kawinnya Ratu Mas Gita Romadhona binti Raden Mawardi dengan mas kawin tersebut tunai". Saksi menyatakan"sah!" dan selesai sudah prosesi yang agung itu. 

Alhamdulillah.
[wira]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar