Senin, 18 Oktober 2010

dan, kami pun belajar menyetia

Sabtu, 2 Oktober 2010


Pagi itu, saya bangun pukul 4 dini hari. Saya memulai drama dengan gagal memakai softlens. Hehe, maklum, saya biasa memakai kacamata, jadi agak grogi saat harus memasang softlens. Mencoba berkali-kali, saya tetap gagal memakainya, akhirnya—setelah beberapa kali kecolok tangan sendiri, saya menyerah. Sudahlah, pikir saya, jika nanti tukang rias bisa, biar dia saja yang memakaikan softlensnya.

Ice—adik saya—dan iwied mulai bersiap-siap. Seharusnya, kami sudah sampai di gedung pukul 5 pagi untuk dirias. Papa dan Mama berangkat bersama aak—abang saya—dari tempat mereka di depan Gunadarma. Pukul lima kurang, Apiz—yang bertugas menjemput saya (alahhh), belum tampak. Bolak-balik dengan cemas, saya menelepon. Kenapa juga harus cemas, ya? Wong, saya pemeran utamanya, yang lain kan harus nungguin saya, wkwkwkw.

Pukul 5 teng Apiz datang bersama kekasihnya. Bergegaslah kami berangkat. Di tengah jalan, drama kedua dimulai, saat saya menelepon Mama, terdengar suara lemah di ujung sana. Ya, Mama sakit dan kemungkinan tidak sanggup berangkat ke gedung. What? Hiks. Harus, ya, hari ini ada dramanya, batin saya. Oke, saya mulai panik. Tidak terbayang harus akad tanpa Mama di sana.

Sesampainya di gedung, saya masih sibuk membujuk aak agar dapat membawa Mama ke gedung. Bagaimanapun caranya, saya mau Mama hadir. Terdengar egois sekali, ya? Tapi, pikir, deh, akad kan cuma sekali seumur hidup (InsyaAllah!), masa Mama yang sudah datang dari Jambi sebulan yang lalu, pas hari H tidak bisa menghadiri? Huhuhu, sedihnya.

Sambil dirias, saya terus-menerus menelepon aak, menanyakan kabar Mama. Hingga hampir pukul 6, belum ada kabar bagus. Saya hampir saja menangis. Akhirnya, saat saya menelepon lagi, aak menjawab kalau mereka dalam perjalanan. Alhamdulillah, batin saya lega.

Pukul 6, Mama tiba di ruang rias dengan dipapah beberapa teman panitia. Saya segera menyuruh beberapa tukang rias untuk meriasnya. Tiba-tiba, Mama jatuh dan pingsan. Huhuhu. Semua panik, termasuk saya. Beberapa sesepuh, segera membaringkan Mama dan memberi ruang. Di luar sana, acara seserahan akan segera dimulai.

Tak berapa lama, Mama sadar. Tetapi, perannya di luar sana—menyambut pengantin pria—terpaksa digantikan oleh seorang sepuh keluarga kami. Menatap wajahnya yang lesu, pelan-pelan saya bertanya, apakah Mama kuat mengikuti prosesi akad? Mama mengangguk lemah. Ah, saya langsung mencium dan memeluknya. Mama memang sudah lama mengidap penyakit jantung. Dia tidak boleh capek atau terlalu bersemangat terhadap sesuatu. Jika itu terjadi, dia akan pingsan. Saya tahu, pastilah ia sangat bersemangat menyambut hari ini sehingga melupakan rasa lelahnya. Ya Allah, beri Mama kekuatan, doa saya dalam hati. Doa yang pagi itu saya rapal tak henti-henti. Ya Allah, izinkan Mama ikut menyaksikan fase paling bersejarah dalam hidup saya.

Akhirnya, Mama selesai dirias, kami pun duduk bersama menunggu prosesi ijab qabul. Sampailah saat saya harus meminta izin kepada Mama dan Papa. Tadinya, saya diberi tahu, kalau tidak akan ada acara meminta izin sehingga saya tidak menyiapkan apa pun. Penghulu memberi saya template untuk dibacakan, meliriknya sekilas, saya langsung tidak minat. Bukan, bukan kata-kata di sana yang ingin saya sampaikan kepada Papa dan Mama, biar saya bicara sendiri.

Saat ingin bicara, tiba-tiba ratusan kenangan berkelbat di kepala saya. Saya tatap kedua orangtua di depan saya. Ah, mereka benar-benar mulai menua. Tak terbayang rasanya, tahun demi tahun membawa pergi hari mereka. hari-hari saat setiap waktu kami masih bisa selalu bersama. Hari-hari kecil yang sudah lewat. Mama yang penyayang, tetapi juga gampang emosi. Ya Allah, jagalah dia selalu, sayangilah ia, bisik saya dalam hati. Papa, yang semakin hari terlihat semakin menua, beri dia kesehatan Ya Allah. Masukkan dia dalam golongan hamba-hambaMu yang sabar dan soleh.
Tiba-tiba, tenggorokan saya tercekat hingga lupa apa saja yang telah saya lontarkan. Tiba-tiba, saat itu saya tersadar, saya telah begini besar, betapa mereka sangat menyayangi saya selama ini. Mereka telah menghabiskan hari-harinya untuk menjaga saya. Hingga hari ini, dengan penuh cinta, mereka menemani saya menemukan laki-laki yang kepadanya saya labuhkan cerita.
Ah, jatuhlah air mata saya dan lupalah saya akan kata-kata.



Setelah prosesi meminta izin selesai, Papa kembali ke ruang utama, dan ijab qabul pun dimulai.
Saya tak terlalu jelas mendengar yang terjadi di dalam, tiba-tiba saja, semua mengucap hamdallah? Ha? Ah, iya, saya ternyata sudah sah menjadi istri Wirawan Sukarwo, teman sekaligus sahabat saya.

Ah, betapa singkatnya prosesi ini, tetapi betapa kudusnya ia. Sebuah perjanjian yang mengikat langsung kepada Allah.

Saat berdoa, diam-diam saya meminta lebih banyak kepada Allah pagi itu. Ya Allah, berikanlah saya sabar yang banyak. Engkau tahu, betapa labilnya saya, terutama dalam hal emosi. Ya Allah, bantulah agar saya dapat mematuhinya, suami saya, setelah mematuhiMu tentu saja.

Ya Allah, Engkaulah Maha pembolak-balik hati, saya mohon kepadaMu, Engkau pemilik segalacinta, jagalah cinta kami. Ridhailah perjalanan kami. Semoga doa-doa yang melangit hari ini, Engkau jelmakan dengan penuh cinta. Amin.

[Gita]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar